CERPEN "HALLO, SAKURA!"



HALLO, SAKURA!

Jika sakura identik dengan Jepang
Mengapa aku tak bisa menjadi simbol adanya kamu?
                Akira menatap satu gambar yang ditempelkannya di dinding kamar kostnya dengan tersenyum. Gambar satu negara impiannya. Gambar pemandangan indah dengan pancaran keindahan setiap sudutnya. Sakura sedang bermekaran. Ya, bulan ini adalah bulan April. Jepang sedang musim semi. Musim yang selalu dirindukan Akira. Rindu dengan sejuta harapan. Mimpi dengan ribuan asa yang bertebaran.
Entah kapan aku bisa ke sana. Batinnya.
Jatuh cinta pertama kali pada negara dengan sakura sebagai bunga nasionalisnya, membuat Akira mengubah cintanya menjadi sebuah obsesi. Bahkan ambisi. Ambisi yang membawanya terjebak dalam mimpi-mimpi besar akan negara tersebut. Ambisi yang membuatnya berkhayal sangat tinggi. Jepang memiliki tempat istimewa di hatinya. Terlebih negara tersebut menawarkan sejuta rahasia yang ingin diungkapnya.
Ping. Sebuah tanda muncul di layar ponselnya.
“Kak, kapan pulang?” pesan singkat dari Mamanya mengubah senyumnya menjadi rasa enggan.
Sudah sebulan sejak kelulusan sarjananya dia tidak pulang. Akira membiarkan dirinya di tempat perantauan, padahal gelar sarjana sudah disandangnya. Bukan tanpa alasan dia berdiam diri. Akira hanya merasa malas dengan pertanyaan mamanya yang tak pernah berubah sejak dua bulan lalu. Itulah kenapa dia malas pulang.
“Jadi gimana? Mama nggak enak nolak terus. Lagian kamu udah lulus, kak!” Kata Mama beberapa waktu lalu saat menghadiri acara wisudanya.
“Aduh Ma, aku kan baru lulus. Lagian kenapa mesti dijodoh-jodohin gini sih, Ma?” Akira menggerutu. Tidak tertarik dengan tawaran Mamanya.
“Bukan ngejodohin. Tapi Mamanya Rega nanyain kamu mulu. Mama kan nggak enak jadinya.” Mama membantah.
“Gak enak atau takut gak dipinjemin barang-barang branded-nya Tante Rita buat Mama pamerin ke teman-teman Mama?” Akira menyindir dengan nada agak kesal.
“Sudah dong! Ini kan hari bahagia kok malah ribut sih!” Papa menengahi. Seperti biasa Papa selalu jadi mediator saat Akira dan Mama bertengkar. Atau bahkan hanya sekedar cencok mulut karena hal sepela. Akira dan Maman selalu tidak pernah sependapat. Entah apa yang membuat dua perempuan ini tidak begitu dekat. Padahal kebanyakan anak lebih dekat dengan seorang Ibu daripada Ayah. Tapi bagi Akira, Mamanya tidak pernah mendukung apa yang menjadi keinginannya. Berbeda sekali dengan Papa.
Papa adalah sosok laki-laki yang demokratis terhadap anak-anaknya. Terutama dalam hal cita-cita. Papa tidak pernah mengarahkan anaknya menjadi apa yang dia ingin. Tetapi menyerahkan segala keputusan berada penuh pada pilihan anak-anaknya.
“Jadi ketemu? Kebetulan saya sedang di kampus.” Satu pesan lain masuk setelah pesan singkat dari Mama yang tak dibalasnya.
Akira dengan cepat mengetik balasan dari pesan tersebut.
“Jadi, Pak. Saya ke sana sekarang.” Klik. Pesan dikirim.
Akira sedang menyelesaikan satu pekerjaan yang mati-matian sedang dia kerjakan. Menyadur satu novelet bahasa Indonesia karya Asma Nadia dan menterjemahkannya ke bahasa Jepang. Sebagai sarjana sastra yang pernah menempuh mata kuliah bahasa Jepang, dia belum terlalu jago dalam bidang tersebut. Untuk itu, dia meminta bantuan pada asisten dosen bahasa jepangnya untuk membantu. Bersyukurlah Akira, karena asisten dosennya mau membantu. Walaupun saat pertama kali Akira mengutarakan maksudnya, dia merasa sangat malu. Karena asisten dosen tersebut terkenal cuek dan sulit memberi nilai baik pada mahasiswanya.
Yudha. Nama dari asisten dosen tersebut. Laki-laki ini tidak terlalu tampan, tetapi kharismatik. Penampilan yang sedanya dengan celana kain hitam melebihi mata kaki, sepatu fantofel yang tidak terlalu kinclong, pakaian kemeja kotak nyaris berwarna gelap yang selalu dipakainya, tas ransel agak lusuh, dan kacamata yang menutupi mata sipitnya. Namun dibalik sikap cueknya, Yudha adalah sosok yang humble dan frendly.
“Kenapa ngotot banget ikut lomba ini?” tanya Yudha saat mereka bertemu di sudut kampus. Membahas satu masalah yang sedang dihadapi Akira.
“Ya nggak apa-apa, Pak. Ingin lebih menguasai bahasa Jepang aja.” Jawab Akira diiringi senyum meringisnya.
“Pasti karena karena hadiah pemenangnya paket perjalanan ke Jepang ya?” Tebak Yudha. Akira ketahuan.
Ya. Satu-satunya alasan kenapa Akira mengikuti lomba ini hanya itu. Saat membaca pemberitahuan lomba di website penulis favoritnya, Asma Nadia. Akira langsung tertarik untuk ikut tanpa pikir panjang. Meskipun kemampuan bahasa Jepangnya tidak terlalu handal, dia tetap memaksakan ikut. Siapa tahu menang. Harapnya dengan tertawa terkekeh-kekeh tanpa menyepelekan. Dengan meminta bantuan Yudha yang lebih handal dalam bahasa Jepang, Akira berharap dia bisa jadi pemenang.
***
Sebulan berlalu sejak deadline lomba menyadur novelet karya Asma Nadia. Akira menanti dengan harap-harap cemas pemenang dari lomba tersebut. Deg-degan di hatinya sama seperti yang dia rasakan saat akan sidang skripsinya beberapa bulan lalu. SMS yang terus dia kirimkan untuk Papa dan Mama agar mendoakannya menjadi pemenang. Malah dia mendapat balasan dari Mama yang membuatnya menekuk wajah, bersikap malas.
“Nanti kalau kamu jadi pemenang, kan tiket ke Jepangnya buat dua orang tuh. Nah, kamu nikah dulu sama Rega. Baru Mama izinin ke Jepang. Pamali perempuan pergi jauh dari rumah kalau belum ada mahram. Kalau kamu ada pendampingnya, Mama kan lega ngelepas kamu pergi. Lagian ke Jepangnya masih masih akhir tahun kan? Nah, cukup tuh buat ngurusin segala persiapan buat nikah!” Isi SMS Mama yang panjang lebar membuat hatinya tak legi mengharap jadi pemenang.
Entah apa yang membuat Mama bersikukuh menjodohkannya dengan Rega. Akira menyadari dirinya sudah cukup umur untuk menikah. Tapi dia masih memiliki impian lain yang ingin dicapainya sebelum dia mengabdikan dirinya seumur hidup untuk satu orang. Di sisi lain, dia merasa ada seberkas rasa untuk asisten dosen bahasa Jepangnya semenjak intensnya pertemuan mereka beberapa bulan lalu. Ya, Akira tidak menampik. Dia naksir Yudha.
Yudha, cowok dengan rambut yang dibiarkannya tergerai sebahu telah mencuri sebagian besar dari mimpi-mimpi Akira. Bukan karena asisten dosen ini jago bahasa Jepang. Akira melihat ada sesuatu yang berbeda dari kharisma Yudha. Sejak kuliah Akira sudah mengagumi sosok Yudha, tapi tidak sedalam sekarang. Dan ketelatenan Yudha mengajarinya bahasa Jepang, membuat rasa yang dimiliknya kian tumbuh menjalar keseluruh hatinya tanpa izin. Untung Akira bisa menyembunyikannya dengan rapi setiap kali dia harus beradu tatap dengan Yudha, walau perasaannya detik itu berantakan.
Akira menatap layar laptop tanpa berkedip. Alisnya menyatu serius. Dia menggerakkan kursor naik turun berulang kali. Berusaha mencari namanya di barisan nama pemenang. Tapi dia tidak menemukan namanya tercantum di sana. Berkali-kali Akira berusaha menemukan namanya, tetap saja namanya tidak ada di sana. Akira duduk termangu menatap website penulis favoritnya. Tidak percaya bahwa dirinya gagal. Keinginannya ke Jepang lenyap sudah. Papa menghiburnya dengan deretan cermah agama lewat SMS. Ada sisi bahagia juga tidak menang, itu artinya Akira tidak perlu buru-buru menikah.Selain Papa, Yudha juga turut memberikan semangat agar terus berusaha.
Tidak jadi pemenang, Akira mendapat bonus lain. Yudha terus memberinya perhatian. Sapa-sapa Yudha via aplikasi chat menjadi rutinitas setiap hari sejak keakraban lomba tersebut. Meski berusaha bersikap biasa, Akira tahu hatinya menyambut gembira perkembangan hubungannya dengan Yudha.
Ketika beranjak remaja dan mulai mengenal rasa suka, Akira berusaha menghindari yang namanya jatuh cinta. Sederhana. Dia tidak ingin mencintai laki-laki yang belum tentu  menjadi suaminya. Tetapi Yudha, Akira tidak berusaha membohongi hatinya. Dia jatuh cinta. Hanya saja dia tidak ingin jalan cintanya berarah sebelum waktunya.
***
Hari-hari berlalu semenjak lomba itu berakhir, dan seiring itu pula keakraban antara Akira dan Yudha semakin terjalin. Beberapa pertemuan tak direncanakan pun terjadi saat mereka di kampus. Akira kikuk setiap bertemu dengan Yudha, pun demikian dengan Yudha. Akira masih dengan impian Jepang bercerita pada Yudha. Yudha selalu tertarik dengan keinginan Akira. Cara bicara Akira yang menggebu-gebu tetapi tetap santun, dan kerudung dengan warna pastel yang menjadi identitasnya membuat raut Akira berwarna. Yudha menyukai gerak-gerik wanita dihadapannya saat ini.
Yudha tidak ingin membuat hatinya jatuh lebih dalam lagi. Terlebih dia tahu Akira bukan perempuan yang bisa diajaknya pacaran. Hingga suatu malam Yudha memberanikan diri mengajak Akira melihat pameran foto yang diadakan kampusnya.
Saat masuk pameran. Akira tertegun pada satu foto yang menghipnotisnya hingga dia berhenti dan menatapnya sangat dalam. Sampai tanpa dia sadari matanya mengalirkan butiran-butiran yang jatuh membasahi pipi putihnya. Yudha yang berada di sebelahnya tahu bagaimana Akira ingin sekali berada di dalam foto tersebut. Tiba-tiba Yudha mengucapkan sesuatu yang membuat Akira terpaku.
“Akhir tahun nanti saya dapat undangan belajar ke Jepang selama 6 bulan. Biaya selama di sana ditanggung pihak yang mengudang. Termasuk bagi yang sudah berkeluarga disiapkan penginapan khusus. Kalau kamu bersedia, saya ingin mengajak kamu.” Yudha menyampaikan isi hatinya yang sedari tadi ingin diungkapkannya sambil terus menatap foto yang sama-sama ditatapnya dengan Akira.
Akira terkejut luar biasa. Inikah lamaran? Bagai hujan di musim panas. Akira kebingungan. Lamaran tiba-tiba yang diucapkan Yudha membuat hatinya campur aduk. Inikah jawaban Tuhan atas doa-doanya selama ini? Akira tidak percaya sosok Yudha yang dia kagumi ternyata memiliki perasaan yang sama. Sekarang sosok itu berdiri dihadapannya dan sedang melamarnya. Akira tidak mampu menjawab. Menikah baginya hal yang harus dia lakukan sekali semur hidup, dengan orang yang tepat.
Yudha sosok yang mengayomi. Empat tahun mengenalnya, tidak pernah sekalipun Akira melihat ada sosok perempuan yang dekat dengan Yudha. Akira tahu Yudha adalah orang yang memprioritaskan pendidikan, tanpa disandingkan dengan hal lain termasuk pacaran. Apalagi Akira tahu, Yudha sosok yang taat beragama.
Entah sudah berapa lama mereka saling diam dan masih terpaku di tempat tersebut. Yudha merasa kikuk dengan diamnya Akira. Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban Akira. Jujur Akira tak pernah membayangkan untuk menikah dengan Yudha. Setelah berpikir dan berusaha memantapkan hati, Akira yakin inilah kekuatan doa dibalik rahasianya. Dengan mengucap bismillah dalam hatinya, Akira mengangguk dengan mengulas senyum dibibirnya. Yudha mengucap syukur tanpa henti.
“Gak mau say hello untuk Jepang?” Yudha menggoda Akira sambil menunjuk foto yang mereka tatap sedari tadi tanpa beranjak.
Akira tersipu malu.
“Hallo, sakura!” Katanya sambil menahan senyum.
Sungguh kekuatan doa amatlah luar biasa. Tidak hanya usaha dan yakin saja, tetapi doa juga mempunyai andil besar atas berhasilnya suatu harapan. Bagaimana pun hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas takdir manusia. Doa orang tuanya juga sangat membantu. Mungkin malaikat juga ikut mengaminkan di setiap doa yang Akira panjatkan. Memang sudah kehendak-Nya demikian, jalan Akira untuk mewujudkan impiannya ke Jepang melalui cara-Nya yang lain, yaitu meyempurnakan separuh agamanya dengan menikah.





#OneDayOnePost
#HariKedua

2 komentar