Mahasiswa menilai skenario
penaikan harga BBM hanya akan membebani rakyat. Mahasiswa menuntut pemerintah
mencabut Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001 yang selama ini menjadi
pangkal carut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia.
“Sudah
saatnya rakyat menolak kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM menghancurkan ekonomi rakyat,” kata-kata itu
terucap dari mahasiswa yang bernama Rendi salah seorang dari puluhan pengunjuk
rasa yang berdemo di depan gedung DPRD Jember.
Aksi menolak kenaikan harga
BBM dilakukan puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Penegak
Keadilan. Mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mundur
dari jabatannya jika tetap memaksakan untuk menaikkan harga BBM per April
mendatang. Dalam aksi yang dipusatkan di sekitar Bundaran Gedung DPRD Jember
itu, mahasiswa menyerukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan SBY-Boediono
yang dianggap tidak pro rakyat. Pengunjukrasa
membentangkan spanduk dan keranda mayat. Di keranda mayat tersebut terdapat
gambar Presiden SBY dan satu tulisan “Turunkan Harga BBM dan Matinya Rasa
Keadilan di Indonesia”. Selain itu, mereka juga membawa beberapa spanduk dan
poster yang bertuliskan “Tolak Kenaikan Harga BBM”.
Rendi memimpin demo yang mengakibatkan
macetnya jalan-jalan di sekitar gedung DRPD. Firman kelompok dalam aksi demo
bergantian dengan Rendi untuk berorasi menyerukan agar pemerintah membatalkan
rencana kenaikan BBM.
“Cukup sudah Negara kita ini ditindas
oleh para oknum-oknum tak bertanggung jawab, kenapa tak bantai saja dulu
pengkorup-pengkorup bangsa kita ini agar Devisa Negara kita bisa digunakan
untuk hal-hal yang tak membebankan rakyat, dengan begitu tak perlu adanya
kenaikan BBM” seru Firman menggunakan pengeras suara yang langsung disambut
dengan teriakan para pengunjuk rasa lainnya. Firman melirik kepada Rendi. Dia
seakan memberi isyarat bahwa Rendi dan dirinya sedang diawasi oleh seseorang
dari sekerumpulan orang-orang berseragam yang berdiri berbaris menghadang para
pengunjuk rasa. Rendi menoleh pada titik yang diisyaratkan oleh Firman, dia
mendapati sorang petugas kepolisian sedang menatap tajam kearahnya.
Asap dari ban bekas yang di bakar semakin membuat keadaan
semakin rusuh, jalan-jalan tak bisa lagi dikendalikan oleh para aparat yang
bertugas untuk menjaga keamanan. Aksi dorong-mendorong antara polisi dengan
pengunjukrasa tak terhindarkan lagi. Bahkan, polisi nekad mengamankan salah
seorang pengunjukrasa yang berteriak-teriak menghina Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
Awalnya demo berjalan tertib
dan damai. Mahasiswa berorasi menolak rencana kenaikan harga BBM. Ketegangan
mulai terjadi ketika mahasiswa berusaha memblokade jalan. Akibatnya aksi saling
dorong terjadi antara mahasiswa dan polisi yang berusaha membubarkan aksi.
“Bubar! Bubar!”
teriak para polisi. Peringatan itu tidak digubris, pengunjuk rasa semakin
brutal dan tak terkendalikan.
Keadaan
semakin memanas ketika mobil dinas Bupati yang sedang melintas langsung
diberhentikan oleh kelompok mahasiswa pendemo. Mereka menggedor-gedor kaca
mobil, membuat sopir yang mengumudi mobil tersebut ketakutan dengan sikap
brutal para pendemo. Aparat berebut dengan para mahasiswa untuk melindungi
mobil dinas Bupat. Terjadi kericuhan disana, aparat dengan terpaksa mengamankan
salah satu pendomo yang dianggap paling anarkis.
“Mundur! Mundur!”
terikan para aparat yang ditujukan kepada para pendemo.
“Kami tidak
akan mundur sebelum pemerintah memberikan keputusan untuk membatalkan kenaikan
BBM” Rendi bersitegas dengan tangan kiri memegang pengeras suara sedankan
tangan kanananya menunjuk ke atas dengan jemari mengepal marah.
“setuju! Setuju!”
teriakan para pendomo membahana.
“Pemerintah
akan mempertimbangkan suara kalian dengan memberikan keputusan terbaik untuk
Negara kita” ucap pemimpin aparat.
“Keputusan
terbaik? Hah keputusan terbaik apa?memaksa kami para rakyat untuk menyetujui
keputusan pemerintah? Tidak! Kami tidak akan tinggal diam!sudah cukup kami
merasa tertindas dengan kepemerintahan Indonesia yang membiarkan
pejabat-pejabat Negara yang berkorupsi menikmati hasil korupsi mereka
berjalan-jalan keliling dunia. Itukah yang diharapkan rakyat Indonesia?” Firman
berteriak.
“Sudah cukup
membualnya anak muda?” pemimpin aparat mendekati Firman. Firman beringas
menatap tajam ke arah pemimpin aparat yang mendekatinya.
“Pulang sana!
Kewajiban mahasiswa adalah belajar, sebagai penerus bangsa harusnya kalian tahu
bagaimana bersikap sebagai seorang yang berintelek, bukan malah bertindak
anarkis seperti orang yang tak berpendidikan seperti ini”
“Ya! Kami
adalah penerus bangsa yang menginginkan bangsa kami hidup dengan mengakkan
keadilan, bukan yang menyemunyikan keadilan” Rendi menatap pemimpin aparat, mata mereka beradu dalam
jarak yang begitu dekat.
“Kalau kalian
masih bersikeras untuk tidak bubar maka kami akan mengambil tindakan peringatan
yang lebih keras” Teguh Pramodeya Soethama Kapolres yang yang memimpin aparat
memberikan pernytaan tegas.
“Dan kami para
pengunjuk rasa tidak akan mengehentikan demonstarsi ini sebelum mendapatkan apa
yang kami mau” Rendi juga mempertegas
pernyataannya.
“Betul! Turunkan
harga BBM!” teriakan para pendemo semakin keras, seoalah semangat mereka tak
terkuras sedikitpun untuk mempertegakkan keinginan mereka.
Aparat
mengambil posisi begitu pula dengan para pendemao. Mobil dinas Bupati yang
sedari tadi sudah dikerubuti oleh beberapa pendemopun juga ikut menjadi
sasaran, sang sopir yang ketakutan menginjak gas secara mendadak sehingga mobil
tiba-tiba saja melaju kencang. Yoyo salah seorang pendemo yang menghadang mobil
tersebut jatuh tak sadarkan diri karena terserempet mobil. Mengetahui insiden
tersebut Rendi, Firman dan teman-temannya yang lain semakin brutal dan anarkis.
Yoyo langsung dilarikan ke RS dr. Soebandi Jember.
“Door!!”
polisi memberikan tembakan peringatan.
Keadaan semakin kacau dan terjadi kegaduhan
dimana-mana, aparat dan para pengunjuk rasa berbaur menjadi satu. Polisi terus
menerus memberikan tembakan peringatan.
“Semua
tenang!” teriak Kapolres Teguh, tapi teriakan itu tidak digubris,yang ada malah
membuat para pengunjuk rasa semakin anarkis.
Polisi melakukan negosiasi dengan koordinator demo
yang dipimpin oleh Rendi. Polisi meminta agar pengunjukrasa mundur dari area
tiang DPRD Jember. Namun, permintaan itu ditolak pengunjukrasa. Bahkan, polisi
diminta untuk keluar dari area tersebut. Karena menolak mundur, polisi terpaksa
membubarkan demo dengan mengamankan beberapa pengunjukrasa yang anarkis itu.
Dalam
kegaduhan itu tanpa disengaja disaat Kapolres Teguh memberikan tembakan
peringatan, pelurunya mengenai kaki Rendi hingga dia jatuh tersungkur. Kapolres
teguh menyadari kejadian itu langsung mendekati Rendi dan segera memberikan
pertolongan. Rendi di lariak ke RS dr. Soebandi Jember menyusul temannya Yoyo
yang sudah dilarikan terlebih dahulu. Melihat kejadian tersebut para pengunjuk
rasa akhirnya sepakat untuk mundur dari pada melihat lebih banyak lagi korban
yang akan terkena kemarahan aparat. Akhirnya, dalam waktu singkat demo yang
dilakukan mahasiswa untuk menolak kenaikan harga BBM bisa dibubarkan. Seluruh
pengunjukrasa berhasil dibubarkan dari depan gedung DPRD Jembar. Meski begitu,
mahasiswa tetap nekad demo di sepanjang
jalan dekat area DPRD Jember.
Rendi tak
sadarkan diri ketika sudah sampai di RS dr. Soebandi, petugas RS langsung
memberikan pertolongan. Rendi dilarikan ke ruangan UGD, peluru yang mengenai kakinya
segera dikeluarkan agar tidak terjadi inveksi. Kemudian setelah penanganan
terhadap kaki Rendi yang terkena peluru Rendi dipindahkan dikamar perawatan.
Disana dia ditemani oleh beberapa teman-teman mahasiswanya yang tadi juga ikut
dalam aksi demo.
“Bagaimana
yang lain?” tanya Rendi pada Firman.
“Yang lain sudah
suruh aku pulang, tapi aparat masih tetap berjaga-jaga disana mereka takut kita
akan melakukan aksi demo susulan” Firman menjawab.
“Hah aksi demo
susulan! Belum puaskah polisi itu menembaki teman-teman kita? Toh juga percuma, pemerintah tidak akan
mendengar asumsi rakyat kecil seperti kita apalagi kita cuma mahasiswa” Rendi
berkata dengan nada acuh.
“Sudahah
sebaiknya kau istirahat dulu, baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Untung
saja kau cuma tertembak bagian bagaimana kalau.........” belum selesai Firman
menyelesaikan kalimatnya Rendi memotongnya.
“Apa? Kau mau
bilang apa? Untung aku tak tertembak bagian dada seperti yang dialami oleh Pak’eku? Untung aku tak mati seperti
yang dialami pak’eku dua tahun lalu?” Rendi menatap Firman tajam. Dia seolah
tak mau lagi membuka kenangan-kenangan pahit yang telah ia coba kubur
dalam-dalam dan tak mau mengingatnya lagi, tapi mendengar perkataan Firman
tanpa sengaja memori pahit itu langsung terlintas dibenaknya.
“Bukan itu
yang aku maksud Ren, kau slah paham” Firman mencoba menjelaskan.
“Polisi-polisi
itu, seharusnya tak boleh menyakiti orang-orang seperti kita, tak boleh
dibiarkan bebas berkeliaran, mereka lebih berbahaya dari apa yang kita bayangkan”
Rendi berkata dengan nada penuh amarah.
“Sudahlah Ren,
toh polisi itu sudah ditangkap dan
dipenjarakan. Janganlah kau ingat-ingat lagi kejadian itu” Firman mencoba
menenangkan sedangkan beberapa teman mahasiswa yang lain hanya menatap Rendi
dan Firman bergantian. Mereka takut untuk terlibat dalam pembicaraan Rendi dan
Firman, apalagi mereka tahu Rendi tidak akan melupakan kejadian yang menawaskan
ayah tercinta dan satu-satunya orang tua yang dia miliki.
“Oh ya?
Membayar nyawa dengan penjara? Apa itu setimpal?” Rendi acuh. Semua terdiam
termasuk Firman. Dia tahu semakin dia mencoba menenangkan Rendi akan terus
membantah.
“Ya sudahlah,
sebaiknya kau istirahat dulu, kita akan menungguimu diluar kalau butuh apa-apa
kau tinggal panggil saja. Aku akan menjenguk Yoyo” Firman memberi isyarat pada
teman-temannya untuk keluar agar Rendi bisa beristirahat dengan tenang tanpa
ada yang mengganggunya.
Rendi
terbaring dengan kaki dibalut oleh kain-kain yang ia sendiri tak tau apa
namanya. Otaknya memkasa untuk mengingat memori terpahit yang tak ingin
diingatnya lagi. Kejadian dua tahun lalu yang merenggut nyawa Ayah orang tua
semata wayangnya.
Tak peduli
rintik-rintik hujan yang mulai turun membasahi para pengunjuk rasa di depan
kantor Bupati Jember. Hari itu di depan kantor Bupati ratusan pengunjuk rasa
berdemo agar Bpati Djalal turun dari jabatannya dikarenakan karena Bupati
Djalal terlibat korupsi. Ayah Rendi yang
dikenal dengan panggilan Pak Opong tukang penjual kopi di alun-alun sedang
bekerja menjual kopi seperti hari-hari biasanya, tetapi hari itu ada demo tentu
saja kondisi seperti itu dimanfaatkan oleh Pak Opong untuk menjual kopi-kopinya
kepada para pendemo. Saat sedang melayani salah satu pengunjuk yang membeli
kopinya tiba-tiba kericuhan terjadi, pasalnya beberapa massa mencoba membobol
pertahanan kantor Bupati yang dijaga ketat oleh pasukan TNI dan anggota
kepolisian. Massa yang mencoba naik ke melewati pagar kantor Bupati teraksa
diberi tembakan peringatan tapi diacuhkan. Terjadilah aksi saling dorong antara
aparat dan pengunjuk rasa, semakin banyak massa yang mencoba naik ke atas pagar
supaya bisa masuk ke kantor untuk menemui Bupati.
Dalam
kericuhan itu Pak Opong yang sudah tua mencoba untuk menghindar tapi tubuhnya
bertabrakan dengan massa lain yang juga ingi kabur. Keadaan semakin kacau dan
tak terkendalikan lagi, tembakan peringatan berkali-kali ditembakkan tapi massa
semakin brutal dan anrkis. Seorang polisi yang berniat untuk menembak kaki
seorang pendemo yang mencoba mendobrak pagar yang hampir roboh, tapi naas peluru
itu terkena Pak Opong yang mencoba bangkit dari jatuhnya karena ditabrak oleh
pendemo yang berlari kalang kabut. Pak Opong langsung dilarikan ke RS dr.
Soebandi tapi sayang nyawanya tak tertolong lagi. Sebelum meninggal Pak Opong
sempat berpesan kepada Rendi agar dirinya jangan tidak bertindak anarkis dalam
melakukan demo supaya kejadian seperti itu tidak terulang kepada dirinya.
Kenangan yang
tak mau diingatnya dan ayahnya pun tak ingin kejadian itu terulang pada Rendi.
Air mata mulai menetes mengingat pesan yang harusnya tak ia abaikan. Penyesalan
karena telah bertindak anarkis mulai menghantui dirinya, amanat yang harusnya
ia selalu ingat membuat dirinya sekarang terbaring di kamar RS dengan kaki yang
terluka karena peluru. Kembali Rendi mengingat kejadi beberapa jam yang lalu
sebelum peluru mengenai kakinya. Demonstrasi yang dia lakukan bersama
bersama-temannya di depan gedung DPRD Jember menolak kenaikan BBM april
mendatang ternyata telah banyak menimbulkan kerugian, baik kerugian dari pihak
pengunjuk rasa juga pihak dari orang lain yang tidak ikut demo. Rendi mulai
menyadari karena ulah dia dan teman-temannya telah mengundang kerugian banyak
pihak, mulai dari macetnya jalan-jalan di sekitar gedung DPRD Jember,
teman-temannya juga bnyak yang diamankan karena bertindak brutal dan anarkis,
Yoyo teman sebayanya juga harus masuk Rumah Sakit karena terserempet mobil
dinas, dan dirinya yang terkena tembakan tidak sengaja yang dilakukan oleh
Kapolres Teguh Pramodeya Soethama.
Selepas keluar
dari Rumas Sakit Rendi mulai menata kembali hidupnya, melakukan
aktivitas-aktivitas seperti biasanya, kuliah, berorganisasi dan tentu saja
sambil bekerja menjadi penjual kopi. Pekerjaan yang sebenarnya ayah Rendi tak
pernah ingin mewarisinya pada Rendi, tapi Rendi sendiri yang menginginkan
meneruskan pekerjaan itu tentu sja dengan bantuan teman-temannya. Walaupun
kenyataanya dia tak perlu melakukan pekerjaan itu karena sudah mendapat
beasiswa pendidikan dan biaya untuk menghidupinya sehari-hari serta sekret
tempat tinggal yang sebenarnya adalah tempat organisasi yang ia kelolah bersama
teman-temannya dan meski harus berjalan
pincang dan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan, tapi dia tetap
mensyukuri karena masih diberi kesempatan untuk berbuat kebaikan dan tentunya
tidak akan melakukan demo lagi. Dia hanya yakin pemerintahpun sebenarnya juga
menginginkan yang terbaik untuk kelangsungan dan kemajuan Bangsa indonesia,
mungkin cara yang diberikan pemerintah kepada rakyat kadang tidak bisa disepakati
oleh rakyat Indonesia sendiri, tetapi rakyat dan pemerintah Indonesia pasti
memiliki tujuan yang sama untuk terus memperbaiki Indonesia.
#Cerpen
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#Day4