SEJARAH






Tak pernah merasa lelah
Hanya terkadang diselimuti ketakutan akan yang dulu sudah pernah terlewat
Tapi aku tak pernah ragu akan cintanya
Cintanya membiaskan kehangatan dalam setiap kegelisahanku
Percaya padanya...hanya itu kunci yang aku pegang
Biar sang waktu saja yang kan serahkan rasaku & rasanya
Hanya saja, aku ingin sang waktu trus ijinkanku merajut dengannya
Kan hantarkan bias senyum tuk sambut hidup demi masa
Mengharap bahwa saksi tak sekedar maya
Tetapi memang nyata dihadapan sang masa
Meski hanya sebuah kata sederhana
Kelak kata ini yang kan padukan aku & dia
Betapa makna bisa bermula hanya dari sebuah kata
Dan kata itu adalah..................................................................................
Kami akan saling bersama

Puisi ini saya tulis tahun 2011, tanggal  tepatnya lupa. Masih ingat alasan kenapa puisi ini saya tulis. 4 tahun yang lalu puisi ini saya tujukan untuk seseorang istimewa. Bukan di hati saya, melainkan diseluruh kehidupan saya. Siapa sangka, semesta menjawab doa saya, pun persoalan setelah puisi ini ditulis hukum alam memberi tanda akan keberadaannya. Ya. puisi ini untuk orang yang setelah puisi ini ditulis dia pergi meninggalkan saya tanpa alasan. Pergi tanpa membawa cinta yang saya punya untuknya. Melainkan meninggalkan kepingan-kepingan hati yang telah saya rakit perlahan hingga membentuk hati yang sempurna. Namun sekali lagi, alam tak tinggal diam. Alam tahu siapa yang pantas menduduki Ratu dihatinya. Dan kurcaci-kurcaci membawa dirinya kembali bertahta di hati saya. Bukan tanpa proses, hanya saja penjelasannya tak perlu sepanjang tulisan novel. Dialah suami saya. Orang yang Tuhan kirim untuk menyempurnakan separuh agama saya.

BAGAIMANA AKU TAK JATUH CINTA



Monday, sept 19th 2011
                                                                                                                                                08.25
Bagaimana aku tak jatuh cinta?
Bila wajahnya selalu menari-nari dalam benakku
Bagaimana aku tak jatuh cinta?
Billa tawanya selalu penuhi hari-hariku
Bagaimana aku tak jatuh cinta?
Bila genggamannya selalu rengkuh tanganku
Bagaiman aku tak jatuh cinta?
Bila matanya selalu amati gerak-gerikku
Bagaimana aku tak jatuh cinta?
Bila senyumnya tebarkan pesonaku
Bagaimana aku tak jatuh cinta?
Bila leluconnya redamkan amarahku
Dan bagaiamana aku tak jatuh cinta?
Bila hatinya tlah ia titipkan padaku tuk ku jaga slalu
Bila tatapanya tlah ia tujukan padaku
Bila dirinya tlah pautkan seluruh jiwa dan raganya hanya padaku
Dan karena itulah aku jatuh cinta padanya

CERPEN "IMPIANKU SEMPAT KOSONG"



Impianku Sempat Kosong

          Hari ini hari sabtu, senin depan kampusku sudah mulai ujian untuk semester genap. Aku duduk di depan meja belajarku, berusaha memecahkan tema yang terdapat dalam penggalan puis yang diciptakan oleh Chairi Anwar.

            Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
            Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
            Sampai ke puncak. Sepi memagut
            Segala menantri. Menanti. Menanti
            ..........................................................
                                    (Deru campur debu, Chairil Anwar)

Aku sangat kesuitan kalau sudah menyangkut dengan menjelaskan tema yang terdapat dalam sebuah puisi, soal ini dari semalam belum bisa ku pecahkan. Mata kuliah yang satu ini memang sulit sekali menurutku, seharusnya dulu aku tidak mengambil jurusan konsentrasi Sastra kalau tahu pelajarannya akan sesulit ini, tapi aku tidak boleh menyerah. Semua persolan pasti akan ada jalan keluarnya.
            Ditengah asiknya aku berkonsentrasi mencari jawaban untuk menjelaskan tema dalam penggalan puisi yang sulit ini, telepon genggamku bunyi. Ku lihat nama penelpon yang tertulis dilayar telepon. Ternyata Can Mey, temanku.
            “hallo Mey ada apa” tanyaku saat telepon kuangkat.
            “Rez... hik... hik....” terdengar suara isak tangis diseberang sana.
            “ada apa Mey?” tanyaku dengan nada khawtir karena Can Mey menangis.
            “orang tuaku bertengkar lagi Rez, aku capek... aku capek kalau harus mendengarkan mereka betengkar setiap malam Rez, aku sedih.. Albert adikku juga tidak pulang semalam, dia katanya tidak tahan dirumah. Aku juga sudah tidak kuat Rez.. aku tidak kuat...” ceritanya padaku panjang lebar dengan suara terbata-bata karena isak tangisnya.
            “Mey udah dong jangan nangis lagi, kamu yang sabar ya, jangan sedih lagi.” Kataku menenangkan. Tapi bukan malah membuat Can Mey tenang aku malah membuatnya semakin terisak, dan aku bingung harus bagaimana.
            Ini sudah kesekian kalinya Can Mey menangis gara-gara permasalahan orang tuanya yang selalu bertengkar dan itu membuat Can Mey dan adiknya tertekan. Bahkan di sekolah, Can Mey yang terkenal periang tiba-tiba saja menjadi pendiam dan lebih suka mengurung diri di dalam kelas. Hal ini membuatku dan teman-teman yanga lain ikut bersedih karena telah merasa kehilangan sosok Can Mey yang dulu.
            Can Mey lahir di Belanda, ayahnya asli Belanda sedangkan ibunya orang Indonesia. Keluarga Can Mey berimigrasi ke Indonesia ketika aku kelas 2 SMP. Kebetulan Can Mey sekolah ditempatku, sejak itulah kami berteman sampai sekarang. Akhir-akhir ini orang tua Can Mey sering sekali bertengkar, aku tidak tahu apa duduk persolannya, Can Mey tidak pernah cerita mungkin dia malu mau menceritakannya padaku karena keluarga dalam keadaan yang harmonis. Akupun berharap semoga keluargaku selamanya rukun.
            “kamu enak ya Rez, punya orang tua yang baik tidak pernah bertengkar, sedangkan aku... hik...hik...hik...” ucapnya padaku, membuatku tak enak hati untuk menjawab, aku juga tidak tau harus menjawab apa.
            “jangan bicara begitu Mey, orang tuamu juga baik kok hanya saja mungkin sekarang mereka sedang dalam keadaan labil, jadi kamu yang sabar ya dan berdoa saja semoga masalahnya cepat terselesaikan.” Kataku dengan nada gemetar karena merasa tak enak sendiri.
            “kalau orang tuaku bercerai bagaimana Rez? Aku tak sangup menghadapi ini semua Rez, aku dan Albert yang jadi korbannya. Hik..hik...hik....” Can Mey semakin terisak setelah mengucapkan kata-kata itu. Albert itu adalah adik Can Mey yang masih duduk dibangku SMP kelas 2.
            “hush! Kamu ngomongnya jangan seperti itu Mey, gak baik. Kamu berdoa saja agar orang tuamu cepat baikan. Jangan ngomong seperti itu lagi, aku gak suka kamu ngomong begitu. “ seruku.
“iya Mey terima kasih ya, aku janji gak akan ngomong seperti itu lagi. Sudah dulu ya Rez.”katanya.
            “iya Mey sama-sama.” Ucapku, kemudian telepon terputus. Kasihan sekali pada Can Mey. Aku tahu apa yang dirasakannya tai aku tidak bisa membantu banyak.
            Belum selesai aku meratapi nasib yang terjadi pada Can Mey saat ini, terdengar ketokan pintu kamarku. Ternyata Ibu, memberitahuku bahwa ada telepon buatku. Keningku berkerut.
            “tumben sekali ada yang telepon lewat telopon rumah, setahuku semua temanku tahu nomor telepon genggamku. Lalu kalau begitu siapa yang menelponku lewat telepon rumah?” batinku.
            “hallo.” Sapaku ketika telepon kuangkat.
            “Rezya?” suara cowok diseberang sana. Siapa ya?
            “ya, maaf ini siapa ya?” tanyaku.
            “aku Boby Rez, teman SMA kamu dulu.” Jawabnya.
            “Boby? Ya ampun.. apa kabar? Setelah sekian lama kenapa baru kali ini kontak?” tanyaku histeris saat ku tahu yang menelpon adalah Boby teman SMA ku dulu.
            “baik Rez, kamu sendiri gimana kabarnya?” Boby balik bertanya.
            “aku juga baik kok. O ya tumben telepon? Ada apa?” tanyaku dengan nada bergurau.
            “aku mau memberitahumu sesuatu Rez.” Katanya seperti terdengar tegang.
            “memberitahu apa? Kamu mau married ya?” tebakku asal-asalan sambil tertawa, tapi mendadak suara Boby menjadi serius. Ada apa? Bathinku jadi tak enak sendiri
v   
            Masa lalu itu kembali datang dalam benakku. Tadi pagi saat Boby teman sekelasku pas SMA dulu menelponku, mengabarkan bahwa Verro, ah...... malas sekali aku harus menyebut nama itu! bahwa Verro  mengidap penyakit yang sangat serius hingga menyebabkan dirinya mengalami kelumpuhan.
            “Nanti sore teman-teman akan menjenguk Verro di rumahnya , aku harap kamu mau datang rez, kumohon tuk sejenak kamu lupakan kebencianmu padanya, kita akan kumpul dirumah Dina terus kita berangkat sama teman-teman ke Rumah Sakit Parahita.” Klik! Telepon ditutup tanpa ku jawab apakah aku bersedia datang atau tidak.
Dengan hati yang menahan sakit yang sudah bertahun-tahun lamanya aku pendam dan ku kubur dalam-dalam kembali mengusik kehidupanku, menganggu benakku. Takkan pernah kulupa kejadian saat itu, saat kemenangan sedikit lagi menjadi milikku musnah saat itu juga. Obsesi untuk menjadi penulis besar membara dalam setiap aliran darahku, menggebu-gebu dan berkobar dalam jiwaku. Tapi satu kejadian yang membuat semua impianku menjadi  kosong.
Aku dan Verro memang bersaing dalam bidang akademik, bahkan semenjak kedatangan Verro di sekolah aku harus rela posisi jawaraku diduduki olehnya. Aku mengakui kepintaran Verro, tapi bukan itu yang membuatku benci pada sosok Verro.
            Verro adalah anak pindahan dari luar kota. Belum sehari dia menjadi penghuni sekolah ini tapi dia seolah menjadi seorang Romeo dalam waktu yang relatif singkat. Aku menyadari bahwa Verro adalah sosok yang menarik, tubuhnya yang tinggi dan bentuk tubuh yang indah yang dia punya adalah idaman dari setiap cewek yang melihatnya. Bahkan akupun sempat terlintas perasaan yang sama dengan kaum hawa di sekolah yang mempunyai perasaan kepada Verro. Tapi perasaan yang sesaat itu cepat-cepat aku tepis, karena aku sadar diri. Siapa aku ini? Hanya seorang cewek biasa yang tidak mempunyai kelebihan apapun, cantik juga tidak, menarik apalagi. Makanya sebelum ditolak aku buang saja jauh-jauh rasa itu sebelum membeku dihatiku.
            Suatu hari ada lomba membuat karya tulis ilmiah tingkat nasional di sekolah yang pemenangnya akan dikontrak langsung dengan penerbit yang mensponsori lomba ini. Obsesi penulisku langsung saja membuncah saat itu juga. “aku harus menang! Yah aku harus menang!” batinku begejolak. Hari terakhir pengumpulan karya tulis ilmiah, tak pernah disangka bahwa karya tulis yang sudah ku siapakan tiba-tiba menghilang, lenyap tanpa jejak. Aku shock, sangat shock. Bingung harus bagaimana, bungung sekali dan untuk membuatnya kembali sudah tak ada waktu. Akhirnya aku hanya bisa pasrah, lemas sekujur tubuhku serasa syaraf-syaraf dalam tubuhku tak berfungsi dan akhirnya aku mengundurkan diri dari perlombaan.
            Seminggu setelah kejadian itu sekolahku ramai dengan riuh tepuk tangan sambil meneriakkan nama Verro. Verro berhasil memenangkan perlombaan tersebut , Verro berhasil mengangkat nama sekolah ke tingkat Nasional. Verro dielu-elukan seluruh penghuni sekolah, Verro menjadi kebanggaan sekolah. Aku ikut senang walau sebenarnya melihat kejadian itu hatiku sangat miris, ah andai saja.. sudahlah aku sudah bisa menerima semuanya, tapi terkadang sulit sekali menerima kenyataan itu. Hanya saja yang membuatku heran dan tidak terima adalah kenapa tiba-tiba karyaku menghilang begitu saja.
            Ini adalah kegagalan kedua yang pernah ku alami saat mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Ketika SMP aku pernah menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah, tapi sayangnya aku gagal mengikuti lomba itu karena mendadak aku jatuh sakit dan membutuhkan perawata intensif dirumah sakit. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama tapi pihak sekolah sudah mencari penggantiku untuk mewakili sekolah. Aku sedih saat itu, tapi tidak sesedih sekarang, karena yang aku rasakan bukan hanya sedih tetapi juga sakit.
            Esoknya, saat melewati mading sekolah terpampang foto Verro dan karya tulis yang berhasil membuatnya menjadi seperti seorang superstar sekolah. Aku terkejut, seluruh tubuhku serasa kaku, bagaimana tidak, didepanku terpampang tulisan yang sangat kukenal. Itu tulisanku, yah itu tulisanku, itu karyaku, Verro bisa menang karena dia mencuri tulisanku. Aku sangat yakin itu adalah karyaku, tak ada yang berubah disana, semua masih sama seperti yang pernah kutulis yang berubah hanya nama penulisnya yang seharusnya ‘Rezya Amalia’ berubah menjadi ‘Verro Ramadhan’. Saat itu baru aku tahu ternyata dialah yang mencuri karyaku. Hal ini aku tak memberitahukan kepada pihak sekolah bahwa karya yang Verro akui miliknya ternyata adalah milikku, karena percuma semua orang sudah mengakui Verro adalah pemenangnya.
            Predikat “ter” yang Verro dapatkan semakin menjulang ke atas. Verro naik daun, dia bak seorang pahlawan dimata teman-temanku. Kejadian itu tidak aku ceritakan pada siapapun kecuali Can Mey, dia tahu aku membenci Verro karena Verro mencuri karyaku.
            “sudah Rez, kamu yang sabar ya, mungkin ini bukan saatnya kamu menunjukkan bakat yang kamu punya.” Can Mey mencoba menghiburku saat aku mengadukan semua yang telah dilakukan Verro sampai membuatku menangis meratapi nasibku.
            “tapi itu karyaku Mey, cowok itu sudah mencurinya dariku, dia mengambil kesempatanku.” Ucapku terisak dengan keras sambil tidur dipangkuan Can Mey. Can Mey tahu usahanya untuk menenangkanku tidak akan berhasil jika aku masih dalam kondisi seperti ini. Aku hanya ingin menangis, meskipun tidak dapat mengembalikan semua impianku yang sempat kosong, tapi setidaknya ini semua membuat aku sedikit merasa lega.
            “menangislah sepuasmu.” kata Can Mey sembari mengelus-elus punggungku.akupun menangis sejadi-jadinya, kalau saja bisa aku ingin menjerit sekeras-kerasnya tapi itu tidak mungkin kulakukan karena sekarang aku berada dikamar Can Mey, jadi aku hanya mampu menangis.
v   
Sejak saat itu kebencianku padanya membuncah dan aku takkan pernah memaafkannya karena dia telah mencuri kesempatanku. Tapi Sekarang didepanku terbaring  lemak sesosok laki-laki yang membuat impian yang selangkah lagi aku bisa mencapainya itu hancur seketika. Benarkah aku tidak akan memaafkan sosok yang terbaring lemah dihadapanku sekarang? Verro yang ku kenal dulu kini tak berdaya.
“akhirnya kamu mau datang juga Rez. Aku pikir kamu tidak datang karena aku tidak melihatmu di rumah Dina tadi.” Kata Boby sembari tersenyum. Entah kenapa aku mersa kedatanganku begitu diharapkan. Aku memang sengaja datang bersama Can Mey membawa kendaraan sendiri.
Verro menatapku sayu, menatap teman-teman yang datang, kulihat ada sebuah penyesalan dan sakit yang sangat pedih dimatanya tapi dia berusaha tersenyum dibalik sakit yang luar biasa yang dia rasakan. Aku datang bersama Can Mey, tubuhku sedikit bersembunyi dibalik tubuh Can Mey, entah kenapa aku melakukan hal itu, apa karena malu atau aku tak mau bertemu, atau malah aku mersa takut bertemu Verro? Tapi takut kenapa? Entalah, perasaanku campur aduk saat ini. Aku menggemgam tangan Can Mey, badanku panas dingin tak karuan. Ya ampun ada apa dengan diriku ini?
“tanganmu dingin sekali Rez.” Kata Can Mey berbisik. Aku hanya diam tak mampu menjawab. Sepertinya pita suaraku terputus hingga tak mampu mengeluarkan suara. Ah... berlebihan sekali aku ini!
Teman-teman menyalami Verro termasuk aku,  tanganku gemetar saat menyentuh tangan Verro. Can Mey tertawa kecil melihat sikapku yang sepertinya terlihat aneh.
“kenapa kamu tertawa?” tanyaku pada Can Mey.
“kamu lucu sekali Rez” jawabnya sambil tertawa.
Huh! Kesal sekali aku pada Can Mey, tapi aku juga merasa kalau tingkahku ini agak kaku. Aku juga heran kenapa aku jadi begini.
Teman-teman bercanda dengan Verro cukup lama, kemudian pandangan Verro beralih kepadaku yang sedari  tadi hanya diam saja. Verro menyuruhku mendekat tapi aku masih terpaku ditempatku sampai tubuhku didorong Can Mey untuk maju mendekat ketubuh Verro yang terbaring lemah, akupun mendekat walau jalanku terliahat agak kaku.
Ketika aku mendekat teman-teman keluar semua dari ruangan yang serba putih ini, aku menoleh ke Can Mey yang hanya tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya sebelum menutup pintu, dan kini hanya tinggal aku berdua bersama Verro.
            “kenapa aku ditinggal sih?” gerutuku dalam hati.
            Lama sekali kami terdiam, tak ada yang berani membuka percakapan. Aku semakin kaku dalam keadaan seperti ini.
“kamu tetap menjadi yang nomor satu kan Rez?” Verro membuka percakapan dengan suara pelan, sangat pelan bahkan nyaris tidak terdengar, seperti berbisik. Aku mengangguk.
“maafkan aku” katanya lirih, lirih sekali. Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, dua sisi hatiku berontank, antara memafkannya dan tidak.
“aku hanya ingin meminta maaf padamu, aku tahu aku sangat menyakitimu Rez, aku mencuri peluangmu”
“kenapa harus bahas masalah ini disaat yang tidak tepat seperti sekarang, aku cukup tahu diri untuk tidak membicarakan masalah ini karena kondisinya sedang tidak tepat.” batinku.
“aku tak tahu apa yang aku pikirkan saat itu, aku hanya ingin membuat orang tuaku bangga disisa akhir usia yang aku miliki, dan kamu lihat sendiri kan Rez, aku lumpuh sekarang. Kedua kakiku tak bisa berfungsi lagi, monster di dalam tubuhku semakin hari semakin menggerogoti bagian dalam tubuhku, aku benar-bener tak berdaya Rez. Aku tahu waktuku gak akan lama lagi maka dari itu aku ingin meminta maaf pada semuanya terutama padamu Rez”. Ucapnya dengan suara tertatih penuh rasa penyesalan.
“sudahlah Ver, jangan bicarakan hal ini lagi. Aku sudah melupakannya sejak lama dan aku....... aku..... aku sudah memaafkanmu.” Bohong! Sedetik sebelum Verro mengakui kesalahnnya aku masih membenci sosok dihadapanku ini. Tapi  setelah mendengar pengakuan Verro, entah kenapa kebencianku pada Verro lenyap seketika. Aku tak mampu membiarkan Verro yang lemah sekarang menjadi putus asa dan kehilangan semangatnya untuk terus berjuang bertahan hidup.
“tahukah kamu Rez? Penyakit yang mengidapku ini bukan penyakit sembarang, dokterpun tidak mampu menjelaskan penyakitku secara jelas, dokter juga tidak mampu memberiku harapan yang lebih dari ini. Aku menuggu keajaiban datang untuk menyelamatkanku terlepas dari ini semua, tapi sepertinya itu hanya harapan kosong. Aku sudah ikhlas kalau aku harus pergi, tapi aku ingin meminta maaf padamu terlebih dahulu” suara Verro benar-benar lirih dan aku sudah tak sanggup lagi mendengar penjelasan Verro lebih dari ini, karena aku sendiri merasa bersalah sudah membencinya. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini, aku tidak akan membencinya.
Kutatap matanya, entah mengapa tiba-tiba saja tanganku merengkuh tangannya dan membawanya dalam genggamanku seakan menyalurkan kekuatan untuk tidak berputus asa dan menyerah. Air mataku mengalir tapi aku tak mampu berkata apa-apa.
v   
Sepekan berlalu setelah aku menjenguk Verro. Aku fokus terhadap ujian yang kuhadapi, tapi terkadang benakku tergangganggu karena mengingat Verro. Bagaimana keadaannya sekarang? Sudah sembuhkah? Atau semakin..... tidak! Aku tidak boleh memikirkan yang tidak-tidak. Ku buang jauh-jauh pikiran yang buruk itu, aku berdoa semoga Verro dalam keadaan baik-baik saja.
Teman-teman menjenguk Verro lagi, aku dan Can Mey tidak bisa ikut karena kami ada ujian. Tapi ada yang menjanggal dan membuat hatiku tak nyaman karena tidak ikut menjenguk, dalam kondisi seperti ini reflek pikiranku tertuju pada Verro.
“ngelamun aja Rez, ada apa?” Can Mey membuyarkan lamunanku
“kok aku jadi kepikiran Verro ya Mey?”
“hmm... cieh..cieh...” Can Mey menggodaku. Aku hanya meliriknya tanpa menjawab.
“o ya Mey, bagaimana kabar keluargamu?” tamyaku mengalihkan pembicaraan.
“sudah agak baikan Rez, tapi belum seratus persen.” Jawabnya datar.
“semoga cepat selesai ya Mey, kamu yang sabar.” Kataku, Can Mey mengangguk sambil tersenyum.
            Malamnya benakku penuh dengan banyangan-banyangan Verro, aku merasa seperti dihantui olehnya, hatiku tidak tenang.
            “kenapa perasaanku seperti ini? Kenapa aku selalu ingat dia? Apa ini rasa bersalah karena aku tidak ikut menjenguknya tadi? Apa sebaiknya aku menjenguknya saja besok? Ya, aku akan menjenguknya besok“ gumamku bertanya pada diri sendiri.
            Aku terkejut ketika telepon genggamku berbunyi.
            “hallo Rez, aku Boby.” Suara disana menyapa.
            “eh Boby, tahu dari mana nomor handphoneku?” tanyaku.
            “aku minta sama Can Mey. O ya kenapa kamu tidak ikut menjenguk Verro tadi Rez?” Boby balik bertanya.
            sorry, tadi aku ada ujian jadi aku gak bisa ikut Bob.” Jawabku menjelaskan.
            “Verro menyakanmu terus Rez.” Kata Boby.
            “menanyakanku? Kenapa?”
            “aku juga tidak tahu kenapa dia menanyakanmu terus, tapi sepertinya dia mengharapkanmu datang menjenguknya Rez.” Boby menjelaskan.
            Apa? Verro mengharapkanku datang menjenguknya? Tapi ada apa? Apa ucapan maafku belum cukup buat dia?.
            “sebaiknya kamu menjenguknya Rez.” Boby berkata lagi sebelum aku sempat berbicara.
            “kenapa aku harus menjenguknya?” kataku sok jual mahal, padahal sebenarnya aku memang akan menjenguknya besok.
            “mungkin sebelum kamu menyesal karena kamu tidak bisa menemuinya untuk terakhir kalinya.”
Deg! Terakhir kalinya? Apa Verro akan.........
“Rez?” suara Boby mengagetkanku.
“ya” aku tersentak kaget saat Boby memanggil namaku, dan lamunanku tentang kedaan Verro terpecah seketika itu juga.
“kok diam? Ya sudah aku hanya ingin mengatakan itu saja. Tolong dipikirjan kata-kataku Rez. Verro sudah pulang dari rumah sakit, nanti ku sms alamatnya.” Klik! Telepon ditutup.
Siang ini sepulang kuliah aku akan menjenguk Verro, tapi sebelum berangkat kerumahnya aku mampir ke toko bunga, membeli bunga untuk Verro, entah kenapa aku ingin sekali membeli bunga untuknya. Ku pilih bunga mawar putih yang sudah dihias dan dibungkus rapi, kini aku siap berangkat menjenguknya.
            Tiga hari yang lalu Verro sudah pulang dari rumah sakit, jadi aku menjenguk dirumahnya. Tapi ketika sampai di rumahnya, aku terkejut, di depan rumah banyak sekali bunga yang bertuliskan rasa berbela sungkawa, turut berduka berduka dan banyak lagi yang lainnya.  Siapa yang meninggal? Pikirku.
            “Rez” sebuah suara memecahkan pikiranku yang kalut. Aku menoleh dan suara itu adalah suara Boby.
            “Verro sudah pergi.” Boby menjawab kebingunganku.
            Apa? Pergi? Maksudnya Verro sudah meninggal? Tidak mungkin! Aku belum memberinya bunga yang sudah ku beli untuknya. Kepalaku pusing mendadak, sangat pusing. Aku belum bisa menerima kenyataan bahwa Verro sudah pergi meninggalkan dunia ini. Aku menyesal karena aku tidak menjenguknya waktu itu. Aku sungguh menyesal.
Sekarang, aku berdiri di depan gundukan tanah merah yang masih basah, yang di atasnya ditaburi bunga-bunga yang masih basah. Verro telah meninggalkan dunia dan aku hanya mampu menatap kepergiannya.  Bunga yang kubeli tadi ku letakkan diatas makamnya. Ada perasaan menyesal karena aku tidak bisa menemuinya untuk yang terakhir kali. Tapi aku mencoba untuk menyadari semua keadaan ini yang telah menjadi kehendak Sang Pencipta.
Dulu memang aku pernah gagal, tapi kedepannya aku kan belajar untuk menjadi yang lebih baik. Kejadian ini memberiku  pelajaran bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Pengalaman ini semakin memantapkan langkahku untuk menjadi seorang penulis besar dan aku tak kan pernah berhenti untuk terus menulis, menulis dan menulis.