Impianku
Sempat Kosong
Hari ini hari
sabtu, senin depan kampusku sudah mulai ujian untuk semester genap. Aku duduk
di depan meja belajarku, berusaha memecahkan tema yang terdapat dalam penggalan
puis yang diciptakan oleh Chairi Anwar.
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Segala menantri. Menanti. Menanti
..........................................................
(Deru
campur debu, Chairil Anwar)
Aku sangat kesuitan kalau sudah
menyangkut dengan menjelaskan tema yang terdapat dalam sebuah puisi, soal ini
dari semalam belum bisa ku pecahkan. Mata kuliah yang satu ini memang sulit
sekali menurutku, seharusnya dulu aku tidak mengambil jurusan konsentrasi
Sastra kalau tahu pelajarannya akan sesulit ini, tapi aku tidak boleh menyerah.
Semua persolan pasti akan ada jalan keluarnya.
Ditengah
asiknya aku berkonsentrasi mencari jawaban untuk menjelaskan tema dalam
penggalan puisi yang sulit ini, telepon genggamku bunyi. Ku lihat nama penelpon
yang tertulis dilayar telepon. Ternyata Can Mey, temanku.
“hallo
Mey ada apa” tanyaku saat telepon kuangkat.
“Rez...
hik... hik....” terdengar suara isak tangis diseberang sana.
“ada
apa Mey?” tanyaku dengan nada khawtir karena Can Mey menangis.
“orang
tuaku bertengkar lagi Rez, aku capek... aku capek kalau harus mendengarkan
mereka betengkar setiap malam Rez, aku sedih.. Albert adikku juga tidak pulang
semalam, dia katanya tidak tahan dirumah. Aku juga sudah tidak kuat Rez.. aku
tidak kuat...” ceritanya padaku panjang lebar dengan suara terbata-bata karena
isak tangisnya.
“Mey
udah dong jangan nangis lagi, kamu yang sabar ya, jangan sedih lagi.” Kataku
menenangkan. Tapi bukan malah membuat Can Mey tenang aku malah membuatnya
semakin terisak, dan aku bingung harus bagaimana.
Ini
sudah kesekian kalinya Can Mey menangis gara-gara permasalahan orang tuanya
yang selalu bertengkar dan itu membuat Can Mey dan adiknya tertekan. Bahkan di
sekolah, Can Mey yang terkenal periang tiba-tiba saja menjadi pendiam dan lebih
suka mengurung diri di dalam kelas. Hal
ini membuatku dan teman-teman yanga lain ikut bersedih karena telah merasa
kehilangan sosok Can Mey yang dulu.
Can
Mey lahir di Belanda, ayahnya asli Belanda sedangkan ibunya orang Indonesia.
Keluarga Can Mey berimigrasi ke Indonesia ketika aku kelas 2 SMP. Kebetulan Can
Mey sekolah ditempatku, sejak itulah kami berteman sampai sekarang. Akhir-akhir
ini orang tua Can Mey sering sekali bertengkar, aku tidak tahu apa duduk
persolannya, Can Mey tidak pernah cerita mungkin dia malu mau menceritakannya
padaku karena keluarga dalam keadaan yang harmonis. Akupun berharap semoga
keluargaku selamanya rukun.
“kamu
enak ya Rez, punya orang tua yang baik tidak pernah bertengkar, sedangkan
aku... hik...hik...hik...” ucapnya padaku, membuatku tak enak hati untuk
menjawab, aku juga tidak tau harus menjawab apa.
“jangan
bicara begitu Mey, orang tuamu juga baik kok hanya saja mungkin sekarang mereka
sedang dalam keadaan labil, jadi kamu yang sabar ya dan berdoa saja semoga
masalahnya cepat terselesaikan.” Kataku dengan nada gemetar karena merasa tak
enak sendiri.
“kalau
orang tuaku bercerai bagaimana Rez? Aku tak sangup menghadapi ini semua Rez,
aku dan Albert yang jadi korbannya. Hik..hik...hik....” Can Mey semakin terisak
setelah mengucapkan kata-kata itu. Albert itu adalah adik Can Mey yang masih
duduk dibangku SMP kelas 2.
“hush!
Kamu ngomongnya jangan seperti itu Mey, gak baik. Kamu berdoa saja agar orang
tuamu cepat baikan. Jangan ngomong seperti itu lagi, aku gak suka kamu ngomong
begitu. “ seruku.
“iya Mey terima kasih ya, aku
janji gak akan ngomong seperti itu lagi. Sudah dulu ya Rez.”katanya.
“iya
Mey sama-sama.” Ucapku, kemudian telepon terputus. Kasihan sekali pada Can Mey.
Aku tahu apa yang dirasakannya tai aku tidak bisa membantu banyak.
Belum
selesai aku meratapi nasib yang terjadi pada Can Mey saat ini, terdengar
ketokan pintu kamarku. Ternyata Ibu, memberitahuku bahwa ada telepon buatku.
Keningku berkerut.
“tumben
sekali ada yang telepon lewat telopon rumah, setahuku semua temanku tahu nomor
telepon genggamku. Lalu kalau begitu siapa yang menelponku lewat telepon
rumah?” batinku.
“hallo.”
Sapaku ketika telepon kuangkat.
“Rezya?”
suara cowok diseberang sana. Siapa ya?
“ya,
maaf ini siapa ya?” tanyaku.
“aku
Boby Rez, teman SMA kamu dulu.” Jawabnya.
“Boby?
Ya ampun.. apa kabar? Setelah sekian lama kenapa baru kali ini kontak?” tanyaku
histeris saat ku tahu yang menelpon adalah Boby teman SMA ku dulu.
“baik
Rez, kamu sendiri gimana kabarnya?” Boby balik bertanya.
“aku
juga baik kok. O ya tumben telepon? Ada apa?” tanyaku dengan nada bergurau.
“aku
mau memberitahumu sesuatu Rez.” Katanya seperti terdengar tegang.
“memberitahu
apa? Kamu mau married ya?” tebakku asal-asalan sambil tertawa, tapi mendadak
suara Boby menjadi serius. Ada apa? Bathinku jadi tak enak sendiri
v
Masa
lalu itu kembali datang dalam benakku. Tadi pagi saat Boby teman sekelasku pas
SMA dulu menelponku, mengabarkan bahwa Verro, ah...... malas sekali aku harus
menyebut nama itu! bahwa Verro mengidap
penyakit yang sangat serius hingga menyebabkan dirinya mengalami kelumpuhan.
“Nanti
sore teman-teman akan menjenguk Verro di rumahnya , aku harap kamu mau datang
rez, kumohon tuk sejenak kamu lupakan kebencianmu padanya, kita akan kumpul dirumah
Dina terus kita berangkat sama teman-teman ke Rumah Sakit Parahita.” Klik!
Telepon ditutup tanpa ku jawab apakah aku bersedia datang atau tidak.
Dengan hati yang menahan sakit
yang sudah bertahun-tahun lamanya aku pendam dan ku kubur dalam-dalam kembali
mengusik kehidupanku, menganggu benakku. Takkan pernah kulupa kejadian saat
itu, saat kemenangan sedikit lagi menjadi milikku musnah saat itu juga. Obsesi
untuk menjadi penulis besar membara dalam setiap aliran darahku, menggebu-gebu
dan berkobar dalam jiwaku. Tapi satu kejadian yang membuat semua impianku
menjadi kosong.
Aku dan Verro memang bersaing
dalam bidang akademik, bahkan semenjak kedatangan Verro di sekolah aku harus
rela posisi jawaraku diduduki olehnya. Aku mengakui kepintaran Verro, tapi
bukan itu yang membuatku benci pada sosok Verro.
Verro
adalah anak pindahan dari luar kota. Belum sehari dia menjadi penghuni sekolah
ini tapi dia seolah menjadi seorang Romeo dalam waktu yang relatif singkat. Aku
menyadari bahwa Verro adalah sosok yang menarik, tubuhnya yang tinggi dan
bentuk tubuh yang indah yang dia punya adalah idaman dari setiap cewek yang
melihatnya. Bahkan akupun sempat terlintas perasaan yang sama dengan kaum hawa
di sekolah yang mempunyai perasaan kepada Verro. Tapi perasaan yang sesaat itu
cepat-cepat aku tepis, karena aku sadar diri. Siapa aku ini? Hanya seorang
cewek biasa yang tidak mempunyai kelebihan apapun, cantik juga tidak, menarik
apalagi. Makanya sebelum ditolak aku buang saja jauh-jauh rasa itu sebelum
membeku dihatiku.
Suatu
hari ada lomba membuat karya tulis ilmiah tingkat nasional di sekolah yang
pemenangnya akan dikontrak langsung dengan penerbit yang mensponsori lomba ini.
Obsesi penulisku langsung saja membuncah saat itu juga. “aku harus menang! Yah
aku harus menang!” batinku begejolak. Hari terakhir pengumpulan karya tulis
ilmiah, tak pernah disangka bahwa karya tulis yang sudah ku siapakan tiba-tiba
menghilang, lenyap tanpa jejak. Aku shock, sangat shock. Bingung harus
bagaimana, bungung sekali dan untuk membuatnya kembali sudah tak ada waktu.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, lemas sekujur tubuhku serasa syaraf-syaraf
dalam tubuhku tak berfungsi dan akhirnya aku mengundurkan diri dari perlombaan.
Seminggu
setelah kejadian itu sekolahku ramai dengan riuh tepuk tangan sambil
meneriakkan nama Verro. Verro berhasil memenangkan perlombaan tersebut , Verro
berhasil mengangkat nama sekolah ke tingkat Nasional. Verro dielu-elukan
seluruh penghuni sekolah, Verro menjadi kebanggaan sekolah. Aku ikut senang
walau sebenarnya melihat kejadian itu hatiku sangat miris, ah andai saja..
sudahlah aku sudah bisa menerima semuanya, tapi terkadang sulit sekali menerima
kenyataan itu. Hanya saja yang membuatku heran dan tidak terima adalah kenapa
tiba-tiba karyaku menghilang begitu saja.
Ini
adalah kegagalan kedua yang pernah ku alami saat mengikuti lomba karya tulis
ilmiah. Ketika SMP aku pernah menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba
karya tulis ilmiah, tapi sayangnya aku gagal mengikuti lomba itu karena
mendadak aku jatuh sakit dan membutuhkan perawata intensif dirumah sakit.
Untungnya hal itu tidak berlangsung lama tapi pihak sekolah sudah mencari
penggantiku untuk mewakili sekolah. Aku sedih saat itu, tapi tidak sesedih
sekarang, karena yang aku rasakan bukan hanya sedih tetapi juga sakit.
Esoknya,
saat melewati mading sekolah terpampang foto Verro dan karya tulis yang
berhasil membuatnya menjadi seperti seorang superstar
sekolah. Aku terkejut, seluruh tubuhku serasa kaku, bagaimana tidak,
didepanku terpampang tulisan yang sangat kukenal. Itu tulisanku, yah itu
tulisanku, itu karyaku, Verro bisa menang karena dia mencuri tulisanku. Aku
sangat yakin itu adalah karyaku, tak ada yang berubah disana, semua masih sama
seperti yang pernah kutulis yang berubah hanya nama penulisnya yang seharusnya
‘Rezya Amalia’ berubah menjadi ‘Verro Ramadhan’. Saat itu baru aku tahu
ternyata dialah yang mencuri karyaku. Hal ini aku tak memberitahukan kepada
pihak sekolah bahwa karya yang Verro akui miliknya ternyata adalah milikku,
karena percuma semua orang sudah mengakui Verro adalah pemenangnya.
Predikat
“ter” yang Verro dapatkan semakin menjulang ke atas. Verro naik daun, dia bak
seorang pahlawan dimata teman-temanku. Kejadian itu tidak aku ceritakan pada
siapapun kecuali Can Mey, dia tahu aku membenci Verro karena Verro mencuri
karyaku.
“sudah
Rez, kamu yang sabar ya, mungkin ini bukan saatnya kamu menunjukkan bakat yang
kamu punya.” Can Mey mencoba menghiburku saat aku mengadukan semua yang telah
dilakukan Verro sampai membuatku menangis meratapi nasibku.
“tapi
itu karyaku Mey, cowok itu sudah mencurinya dariku, dia mengambil
kesempatanku.” Ucapku terisak dengan keras sambil tidur dipangkuan Can Mey. Can
Mey tahu usahanya untuk menenangkanku tidak akan berhasil jika aku masih dalam
kondisi seperti ini. Aku hanya ingin menangis, meskipun tidak dapat
mengembalikan semua impianku yang sempat kosong, tapi setidaknya ini semua
membuat aku sedikit merasa lega.
“menangislah
sepuasmu.” kata Can Mey sembari mengelus-elus punggungku.akupun menangis
sejadi-jadinya, kalau saja bisa aku ingin menjerit sekeras-kerasnya tapi itu
tidak mungkin kulakukan karena sekarang aku berada dikamar Can Mey, jadi aku hanya
mampu menangis.
v
Sejak saat itu kebencianku
padanya membuncah dan aku takkan pernah memaafkannya karena dia telah mencuri
kesempatanku. Tapi Sekarang didepanku terbaring
lemak sesosok laki-laki yang membuat impian yang selangkah lagi aku bisa
mencapainya itu hancur seketika. Benarkah aku tidak akan memaafkan sosok yang
terbaring lemah dihadapanku sekarang? Verro yang ku kenal dulu kini tak
berdaya.
“akhirnya kamu mau datang juga
Rez. Aku pikir kamu tidak datang karena aku
tidak melihatmu di rumah Dina tadi.” Kata Boby sembari tersenyum. Entah kenapa
aku mersa kedatanganku begitu diharapkan. Aku memang sengaja datang bersama Can
Mey membawa kendaraan sendiri.
Verro menatapku sayu, menatap
teman-teman yang datang, kulihat ada sebuah penyesalan dan sakit yang sangat
pedih dimatanya tapi dia berusaha tersenyum dibalik sakit yang luar biasa yang
dia rasakan. Aku datang bersama Can Mey, tubuhku sedikit bersembunyi dibalik
tubuh Can Mey, entah kenapa aku melakukan hal itu, apa karena malu atau aku tak
mau bertemu, atau malah aku mersa takut bertemu Verro? Tapi takut kenapa?
Entalah, perasaanku campur aduk saat ini. Aku menggemgam tangan Can Mey,
badanku panas dingin tak karuan. Ya ampun ada apa dengan diriku ini?
“tanganmu dingin sekali Rez.”
Kata Can Mey berbisik. Aku hanya diam tak mampu menjawab. Sepertinya pita
suaraku terputus hingga tak mampu mengeluarkan suara. Ah... berlebihan sekali
aku ini!
Teman-teman menyalami Verro
termasuk aku, tanganku gemetar saat
menyentuh tangan Verro. Can Mey tertawa kecil melihat sikapku yang sepertinya
terlihat aneh.
“kenapa kamu tertawa?” tanyaku
pada Can Mey.
“kamu lucu sekali Rez” jawabnya
sambil tertawa.
Huh! Kesal sekali aku pada Can
Mey, tapi aku juga merasa kalau tingkahku ini agak kaku. Aku juga heran kenapa
aku jadi begini.
Teman-teman bercanda dengan Verro
cukup lama, kemudian pandangan Verro beralih kepadaku yang sedari tadi hanya diam saja. Verro menyuruhku
mendekat tapi aku masih terpaku ditempatku sampai tubuhku didorong Can Mey
untuk maju mendekat ketubuh Verro yang terbaring lemah, akupun mendekat walau
jalanku terliahat agak kaku.
Ketika aku mendekat teman-teman
keluar semua dari ruangan yang serba putih ini, aku menoleh ke Can Mey yang
hanya tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya sebelum menutup pintu, dan kini
hanya tinggal aku berdua bersama Verro.
“kenapa
aku ditinggal sih?” gerutuku dalam hati.
Lama
sekali kami terdiam, tak ada yang berani membuka percakapan. Aku semakin kaku
dalam keadaan seperti ini.
“kamu tetap menjadi yang nomor
satu kan Rez?” Verro membuka percakapan dengan suara pelan, sangat pelan bahkan
nyaris tidak terdengar, seperti berbisik. Aku mengangguk.
“maafkan aku” katanya lirih,
lirih sekali. Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, dua
sisi hatiku berontank, antara memafkannya dan tidak.
“aku hanya ingin meminta maaf
padamu, aku tahu aku sangat menyakitimu Rez, aku mencuri peluangmu”
“kenapa harus bahas masalah ini
disaat yang tidak tepat seperti sekarang, aku cukup tahu diri untuk tidak
membicarakan masalah ini karena kondisinya sedang tidak
tepat.” batinku.
“aku tak tahu apa yang aku
pikirkan saat itu, aku hanya ingin membuat orang tuaku bangga disisa akhir usia
yang aku miliki, dan kamu lihat sendiri kan Rez, aku lumpuh sekarang. Kedua
kakiku tak bisa berfungsi lagi, monster di dalam tubuhku semakin hari semakin
menggerogoti bagian dalam tubuhku, aku benar-bener tak berdaya Rez. Aku tahu
waktuku gak akan lama lagi maka dari itu aku ingin meminta maaf pada semuanya
terutama padamu Rez”. Ucapnya dengan suara tertatih penuh rasa penyesalan.
“sudahlah Ver, jangan bicarakan
hal ini lagi. Aku sudah melupakannya sejak lama dan aku....... aku..... aku
sudah memaafkanmu.” Bohong! Sedetik sebelum Verro mengakui kesalahnnya aku
masih membenci sosok dihadapanku ini. Tapi
setelah mendengar pengakuan Verro, entah kenapa kebencianku pada Verro
lenyap seketika. Aku tak mampu membiarkan Verro yang lemah sekarang menjadi
putus asa dan kehilangan semangatnya untuk terus berjuang bertahan hidup.
“tahukah kamu Rez? Penyakit yang
mengidapku ini bukan penyakit sembarang, dokterpun tidak mampu menjelaskan
penyakitku secara jelas, dokter juga tidak mampu memberiku harapan yang lebih
dari ini. Aku menuggu keajaiban datang untuk menyelamatkanku terlepas dari ini
semua, tapi sepertinya itu hanya harapan kosong. Aku sudah ikhlas kalau aku
harus pergi, tapi aku ingin meminta maaf padamu terlebih dahulu” suara Verro
benar-benar lirih dan aku sudah tak sanggup lagi mendengar penjelasan Verro
lebih dari ini, karena aku sendiri merasa bersalah sudah membencinya. Kalau
tahu kejadiannya akan seperti ini, aku tidak akan membencinya.
Kutatap matanya, entah mengapa
tiba-tiba saja tanganku merengkuh tangannya dan membawanya dalam genggamanku
seakan menyalurkan kekuatan untuk tidak berputus asa dan menyerah. Air mataku
mengalir tapi aku tak mampu berkata apa-apa.
v
Sepekan berlalu setelah aku
menjenguk Verro. Aku fokus terhadap ujian yang kuhadapi, tapi terkadang benakku
tergangganggu karena mengingat Verro. Bagaimana keadaannya sekarang? Sudah
sembuhkah? Atau semakin..... tidak! Aku tidak boleh memikirkan yang tidak-tidak.
Ku buang jauh-jauh pikiran yang buruk itu, aku berdoa semoga Verro dalam
keadaan baik-baik saja.
Teman-teman menjenguk Verro lagi,
aku dan Can Mey tidak bisa ikut karena kami ada ujian. Tapi ada yang menjanggal
dan membuat hatiku tak nyaman karena tidak ikut menjenguk, dalam kondisi
seperti ini reflek pikiranku tertuju pada Verro.
“ngelamun aja Rez, ada apa?” Can
Mey membuyarkan lamunanku
“kok aku jadi kepikiran Verro ya
Mey?”
“hmm... cieh..cieh...” Can Mey
menggodaku. Aku hanya meliriknya tanpa menjawab.
“o ya Mey, bagaimana kabar
keluargamu?” tamyaku mengalihkan pembicaraan.
“sudah agak baikan Rez, tapi
belum seratus persen.” Jawabnya datar.
“semoga cepat selesai ya Mey,
kamu yang sabar.” Kataku, Can Mey mengangguk sambil tersenyum.
Malamnya
benakku penuh dengan banyangan-banyangan Verro, aku merasa seperti dihantui
olehnya, hatiku tidak tenang.
“kenapa
perasaanku seperti ini? Kenapa aku selalu ingat dia? Apa ini rasa bersalah
karena aku tidak ikut menjenguknya tadi? Apa sebaiknya aku menjenguknya saja
besok? Ya, aku akan menjenguknya besok“ gumamku bertanya pada diri sendiri.
Aku
terkejut ketika telepon genggamku berbunyi.
“hallo
Rez, aku Boby.” Suara disana menyapa.
“eh
Boby, tahu dari mana nomor handphoneku?” tanyaku.
“aku
minta sama Can Mey. O ya kenapa kamu tidak ikut menjenguk Verro tadi Rez?” Boby
balik bertanya.
“sorry, tadi aku ada ujian jadi aku gak
bisa ikut Bob.” Jawabku menjelaskan.
“Verro
menyakanmu terus Rez.” Kata Boby.
“menanyakanku?
Kenapa?”
“aku
juga tidak tahu kenapa dia menanyakanmu terus, tapi sepertinya dia mengharapkanmu
datang menjenguknya Rez.” Boby menjelaskan.
Apa?
Verro mengharapkanku datang menjenguknya? Tapi ada apa? Apa ucapan maafku belum
cukup buat dia?.
“sebaiknya
kamu menjenguknya Rez.” Boby berkata lagi sebelum aku sempat berbicara.
“kenapa
aku harus menjenguknya?” kataku sok jual mahal, padahal sebenarnya aku memang
akan menjenguknya besok.
“mungkin
sebelum kamu menyesal karena kamu tidak bisa menemuinya untuk terakhir
kalinya.”
Deg! Terakhir kalinya? Apa Verro
akan.........
“Rez?” suara Boby mengagetkanku.
“ya” aku tersentak kaget saat
Boby memanggil namaku, dan lamunanku tentang kedaan Verro terpecah seketika itu
juga.
“kok diam? Ya sudah aku hanya
ingin mengatakan itu saja. Tolong dipikirjan kata-kataku Rez. Verro sudah
pulang dari rumah sakit, nanti ku sms alamatnya.” Klik! Telepon ditutup.
Siang ini sepulang kuliah aku
akan menjenguk Verro, tapi sebelum berangkat kerumahnya aku mampir ke toko
bunga, membeli bunga untuk Verro, entah kenapa aku ingin sekali membeli bunga
untuknya. Ku pilih bunga mawar putih yang sudah dihias dan dibungkus rapi, kini
aku siap berangkat menjenguknya.
Tiga
hari yang lalu Verro sudah pulang dari rumah sakit, jadi aku menjenguk dirumahnya.
Tapi ketika sampai di rumahnya, aku terkejut, di depan rumah banyak sekali
bunga yang bertuliskan rasa berbela sungkawa, turut berduka berduka dan banyak
lagi yang lainnya. Siapa yang meninggal?
Pikirku.
“Rez”
sebuah suara memecahkan pikiranku yang kalut. Aku menoleh dan suara itu adalah
suara Boby.
“Verro
sudah pergi.” Boby menjawab kebingunganku.
Apa?
Pergi? Maksudnya Verro sudah meninggal? Tidak mungkin! Aku belum memberinya
bunga yang sudah ku beli untuknya. Kepalaku pusing mendadak, sangat pusing. Aku
belum bisa menerima kenyataan bahwa Verro sudah pergi meninggalkan dunia ini.
Aku menyesal karena aku tidak menjenguknya waktu itu. Aku sungguh menyesal.
Sekarang, aku berdiri di depan
gundukan tanah merah yang masih basah, yang di atasnya
ditaburi bunga-bunga yang masih basah. Verro telah meninggalkan dunia dan aku
hanya mampu menatap kepergiannya. Bunga
yang kubeli tadi ku letakkan diatas makamnya. Ada perasaan menyesal karena aku
tidak bisa menemuinya untuk yang terakhir kali. Tapi aku mencoba untuk
menyadari semua keadaan ini yang telah menjadi kehendak Sang Pencipta.
Dulu memang aku pernah gagal,
tapi kedepannya aku kan belajar untuk menjadi yang lebih baik. Kejadian ini
memberiku pelajaran bahwa kegagalan
adalah keberhasilan yang tertunda. Pengalaman ini semakin memantapkan langkahku
untuk menjadi seorang penulis besar dan aku tak kan pernah berhenti untuk terus
menulis, menulis dan menulis.