STANDAR KESUKSESAN

Standar kesuksesan tiap orang beda. Perspektif orang memandang kesuksesan juga berbeda. Nggak bisa kita kekeuh pada pendapat sendiri sementara orang lain harus ngikutin perspektif kita.


Tapi pernah gak sih kesel sama orang yang mengagungkan harta sebagai titik kesuksesan? Kemudian dibanding-bandingin sama orang yang dari segi financial masih pas-pasan.
Gini ya, aku kasik beberapa gambaran standar kesuksesan seseorang.

Pertama, sebagian besar manusia memang kerap mengukur materialistis sebagai dewanya kesuksesan. Makanya nggak jarang banyak orang yang rela ngutang abis-abisan biar dibilang sukses sama orang lain. Punya rumah mewah, mobil bagus, HP mahal, tas branded, pakaian branded berlian di kuping, leher, jari, tangan, kaki, dan di seluruh anggota tubuh lainnya biar dibilang kaya. Padahal dibalik penampilannya yang sok itu ada kepusingan tagihan tiap bulan, cicilan merajelela. Hanya karena pengen muasin nafsu belaka. Cuma pengen dibilang keren sama sana-sini, eh nggak taunya pada kredit semua. Yang kaya beneran aja nggak segitunya juga berpenampilan. Yang banyak duitnya beneran kadang juga masih pakek kolor kemana-mana, masih suka pakek daster, belanja ke pasar, naik angkot, pakek sandal jepit.

Kedua, manusia dengan sisi lain yang berbeda. Bagi tipe ini sukses yaitu bahagia. Biasanya manusia yang begini lebih mensyukuri hidup. Gak ngutang, makan seadanya, hidup gak banyak drama, jalanin yang ada di depan mata.  Gak harus hidup bergelimang harta, yang penting happy. Bahagia lahir dan batin.

Iya sih, harta juga bikin bahagia hidup seseorang. Tapi telaah dulu, harta yang wujudnya kayak gimana dulu nih? Yang dapat ngutang, atau yang dapat dari perjuangannya?

Yang dapat ngutang. Benarkah merasa bahagia? Aku rasa sih enggak. Bayangin aja tiap bulan harus bayar cicilan ini itu. Belum lagi kalo harus dikejar-kejar rentenir. Kayak gitu bahagia? Bahagia sih, tapi sesaat. Bahagia bangun rumah megah hasil pinjam dari bank, bahagia pas mobil baru udah parkir di garasi rumah, berlian se set nangkring di badan, tas branded bergelantungan di lengan, pakaian branded berkibar-kibar. Tapi dari hasil apa? Hasil ngutang. Begitu akhir bulan datang, yang ada pusing pala bebi!! Ya nggak papa sih, ngutang juga bukan kesalahan. Ngutang mah boleh, bebas. Tapi untuk apa dulu? Kalo tujuannya bener sah-sah aja. Buat modal usaha contohnya. Ini ngutang yang bener. Uangnya juga pasti buat muterin itu usaha. Tapi kalo ngutang buat ngedepanin gengsi, ini yang kudu dibenerin.

Bandingan sama manusia yang milih hidup apa adanya, nggak banyak tingkah, sederhana, banyak bersyukur. Aku yakin pasti bahagia. Karena apa? Karena hidup yang disyukurin itu yang merasa telah dicukupkan Allah. Sadar bahwa kemampuannya udah ditakar sama Yang Atas. Nggak sensitifan, dibisikan tetangga sebelah beli kulkas 15 pintu slow-slow aja. Nggak kayak cacing kepanasan menggeliat pengen ngadem juga. Malah ngucapin selamat sama tetangga. Baaah.. ini mah sukses yang gak kenilai lagi. Legowo atinya, adem pikirannya, dan mensyukuri hidupnya. Toh ntar kalo udah nyampek waktunya Allah nurunin semuanya. Nggak cuma rumah atau mobil, hotel, pesawat, bisnis lancar sampe ke luar negeri, udah Allah catet. Nggak ada yang tau, kecuali Dia.

Sekarang pilih mana, mensyukuri yang ada trus nanti Allah numpahin berlian? Atau maksain gengsi trus Allah  nggak mau ikut campur?

Lagi ya, kalo kita lihat, hidup orang lain kayaknya enak banget. Punya segala fasilitas lengkap, dapat warisan dari orang tua jadi gak perlu capek-capek kerja dari nol, rumah ada tinggal nempatin, mobil tinggal ngendarain, usaha tinggal ngelanjutin. Tapi gak pernah ngerasain yang namanya proses. Mental loyo, ngadepin permasalahan dikit udah kayak mau mati aja. Atau ngeliat teman yang udah sukses, kerja di luar negeri, tapi hatinya kosong. Jauh dari keluarga, atau dia sendri bahkan pengen berkeluarga tapi kehambat kerjaan. Nggak ada yang tau hati seseorang. Dan kata “sukses” yang dilabelkan pada seseorang itu nggak harus pada orang yang kaya secara finansial, tapi juga kaya hati. Tergantung siapa dan untuk siapa gelar sukses itu dinobatkan.

Aku ngomong gini bukan ngeliat diri sendiri merasa hebat. Justru ini untuk ngingetin aku bahwa suksesku masih jauh. Aku jg masih ngutang, sering ngeluh, kurang bersyukur, suka ngiri sama hidup orang lain, pengen dapetin sesuatu tapi kadang masih males kerja. Pengen didik anak supaya jadi manusia yg bermanfaat untuk orang lain tapi diri sendiri pelit sedekah. Tapi serius loh, mendidik anak biar jadi manusia berguna itu lebih berkelas ketimbang ngajarin anak supaya jadi orang kaya. Nanti kita bahas ditulisan selanjutnya.

IBU DAN AKU BERBEDA

Gak semua cara didik yang dilakukan orang tua untuk anaknya sudah tepat dimata sang anak. Namun apa yang dilakukan orang tua untuk anak sudah jelas demi kebaikan sang anak.
***
Acap kali kita mendengar banyak para orang tua membandingkan anaknya dengan anak si A, B, atau C. Seolah anaknya tidak lebih dari sekedar merepotkan orang tua dalam hidupnya. Itulah yang dirasakan si anak. Kejadian ini sering menjadi pemicu dalam kepribadian si anak. Dimana anak menjadi mudah strees ketika menghadapi masalah, minder, tidak percaya diri atas segala hal yang ada dalam dirinya, cenderung menjauhkan diri dari lingkungan, lebih senang sendiri ketimbang berkumpul dengan teman sebayanya, dan dampak lain yg diterima anak. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena hal itulah yang terjadi dalam hidup saya.
***
Ibu terutama, kami sering berbeda pendapat, cekcok mulut, dan perdebatan yang hampir ada setiap kami bertemu. Kami berbeda frekuwensi. Entah kenapa saya melihat ibu sering membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain. Yang kena getahnya hidup saya. Mungkin tujuan ibu membandingkan dengan anak lain supaya saya bisa belajar hal baik dari anak tersebut. Iya tujuannya benar, tapi caranya salah menurut saya. Contoh, saat kecil ibu selalu membandingkan saya dengan anak tetangga. Si anak tetangga ini rajin bantuin orang tuanya, sedangkan saya ogah-ogahan.  Saat saya mulai membantunya membereskan rumah, dibilang kerjaan saya kurang bersihlah, kurang rapihlah, ini itulah sambil mengomel. Hal itu membuat saya malas untuk membantunya lagi. Saya menganggap apa yang saya lakukan tidak diapresiasi tetapi malah dijatuhkan. Perdebatan kecil inilah yang terkadang membuat hubungan kami kurang harmonis.
***
Satu pelajaran yang dapat saya terapkan. Ketika orang tua ingin anak mencontoh apa yang kita lakukan, jangan hanya dicekoki teori tanpa memberinya praktek. Beri dia contoh yang benar dengan melibatkan dia saat kita melakukan suatu hal. Ketika anak berhasil mengerjakannya sendiri, berikan dia pujian, beri apresiasi supaya dia merasa telah melakukan hal tersebut dengan sempurna. Meskipun masih perlu banyak perbaikan, setidaknya kita menghargai yang dia lakukan.
Jangan membandingkan dengan anak lain. Karena itu hanya akan membuat anak tidak percaya diri untuk mencoba, membuatnya takut salah, membuatnya merasa tidak bisa, yang akhirnya hanya akan membuatnya tidak berani mencoba.
***
Salah satu didikan saya terhadap Akira. Apa yang saya dapat dari orang tua tidak semua saya terapkan untuknya. Banyak hal yang perlu saya filter, karena saya tidak ingin Akira tumbuh menjadi seperti saya. Tidak percaya diri, penakut dalam bemimpi, dan tidak berani keluar dari zona aman.
***
Diantara perdebatan yang terlewati dengan ibu, beliau wanita tangguh yang belum pernah saya temuin di dunia. Dan satu hal penting yang terapkan dalam hidup saya dari ibu, pesan ibu sampai. Saat saya punya rumah sendiri, saya agak risih melihat rumah kotor. Alhasil saya suka bersih-bersih rumah, walupun untuk urusan masak, mencuci piring, dan meyetrika itu seperti menjadi musuh terbesar saya.
***
Ucapan orang tua itu benar, kita belum bisa ngerasain apa yang dirasakan orang tua sebelum kita menjadi orang tua yang sesungguhnya. Itulah yang sering saya renungkan.

Terlepas dari itu semua. Ibu saya adalah ibu terbaik dan terhebat di dunia. Dan saya akan jadi ibu terasik untuk Akira.