ANTARA MUSIBAH DAN CINTA
Air bah itu tiba-tiba saja datang
disaat aktivitas tidak lagi dilakukan, disaat semua orang tengah terlelap dalam
mimpi-mimpi indah mereka. Banjir bandang melahap semua yang ada di hadapannya
tanpa memberinya ampun.
"Banjiiiiiiiiiir"
Teriak orang-orang di sana sini.
Orang-orang hilir mudik
kesana kemari tak menentu mencari tempat yang lebih aman. Ada yang membawa
televisi, ada juga yang membawa kasur atau spring bed, ada juga yang membawa
buntalan pakaian. Kanal-kanal di sekitar jalan menuju Balung meluap,
menumpahkan segala isinya merata ke segala penjuru manapun sesukanya tanpa
peduli dimana ia akan mengalir. Baru kali ini, Balung merata terkena banjir.
Sebuah pemandangan yang sangat begitu mengerikan sekaligus mencengangkan. Balung
sudah seperti lautan yang tepinya sulit terjangkau oleh sejauh mata memandang.
Bulu roma
bergidik begitu melihat hamparan rumah penduduk berubah dalam sekejap hanya
dalam hitungan menit menjadi lautan. Berharap-harap cemas dimana rumah tinggal yang
sebelumnya mereka huni tak ikut terkena amarah dari luapan air bah. Mobil-mobil
berjajar rapi diparkir di sisi jalan yang berjarak kira-kira sepuluh meter dari
banjir. Di sisi lain bengkel motor tengah meraup laba yang sangat
menggembirakan karena banyak motor yang mogok yang dipaksa untuk jalan di
tempat banjir.
Di tempat
berbeda tapi dalam waktu yang sama Shira mondar-mandir dengan handphone
tergenggam ditangannya. Berkali-kali dia mencoba menelpon nomor yang sama namun
hasilnya nihil.
“Maaf nomor
yang Anda hubungi sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi”
Operatorpun berkali-kali menjawab telepon Shira. Kecemasan tampak diwajahnya
yang putih nan cantik itu. Malam itu shira tidak bisa tidur, dia menonton
berita di televisi yang memberitakan perkembangan banjir yang baru saja terjadi
di kampung halamannya. Membaca dengan teliti nama-nama korban yang terkena
banjir bandang, berharap menemukan nama orang-orang yang dikenalnya tapi tidak
masuk dalam deretan korban yang meninggal, luka boleh yang tepenting adalah
selamat dari ganasnya air bah itu. Tapi Shira tidak menemukan nama-nama orang
yang dicarinya, dia malah menemukan nama tetangganya masuk dalam deretan korban
meninggal, hati Shira semakin tak menentu.
Jelas
saja Shira merasa cemas, khawatir dan takut, di kampung halamannya tinggal
Eyang Wiwik dan Eyang Herman yang menggantikan posisi orang tua Shira yang
sudah lama mennggal ketika Shira masih kecil. Ponsel Shira bunyi, ada SMS dari
temannya.
“Besok kita kumpul di Kampus, kita akam menjadi relawan korban
banjir yang terjadi di Balung. Mohon kehadirannya tepat pukul 8.00”. Tapi Shira seperti tidak
bisa menunggu hari esok, ia ingin segera pulang. Ingin segera mengetahui kabar
Kakek dan Neneknya.
Pagi itu di kampus Shira dan
teman-temannya sudah berkumpul, mereka akan turut serta membantu berpartisipasi
untuk meringankan beban para korban bencana banjir bandang. Shira ditunjuk
sebagai koordinator lapangan. Mereka langsung berangkat menuju lokasi kejadian.
Selama perjalanan menuju tempat lokasi Shira
merasa was-was. Bagaimana tidak, di sepanjang perjalanan menuju kampung halamannya
dia terus mencoba menelpon orang-orang di desa yang dia ketahui nomor ponselnya
tapi sama sekali tak ada jawaban. Sedari tadi Shira meremas-remas tangannya, ia
tampak tidak tenang sama sekalli. Perjalanan sudah mendekati lokasi bencana,
pemandangan yang sungguh-sunguh miris. Desa yang baru ditinggalkannya dua
minggu lalu sebelum Shira kembali ke Jember untuk bersekolah tampak jauh
berbeda. Tak ada lagi rumah-rumah mewah yang berdiri di pinggir jalan, tapi
kanal di sepanjang jalan mulai telihat tenang seolah tak pernah melahap desa
tersebut. Banjir bandang meluluhlantakkan segalanya.
Belakangan
baru diketahui jika ternyata desa Curah Malang enggan menadah air dari aliran sungai
gunung pasang Panti, sedang sungai gunung pasang Panti yang melewati kanal pinggiran
jalan menuju Balung meluap hingga akhirnya seluruh Balung dan desa sekitarnya
mengalami banjir. Anehnya
selama banjir ini, kapasitas hujan yang terjadi tidak begitu besar dan jarang
terjadi. Jadi banjir ini dikarenakan limpahan air kanal yang begitu besar.
Karena Balung dan sekitarnya katanya hujan yang lebat secara terus menerus
tidak ada jeda waktu selama kurang lebih tiga hari.
Tak sadar
air mata ini meleleh dari pelupuk mata Shira, satu demi satu jatuh membasahi
pipi. Air mata yang mulai semalam ia tahan agar tidak tumpah kini sudah tidak
tertahankan lagi. Kecamtan Balung kini seperti sudah tak jelas lagi rimbanya.
Semuanya hanya mengharap menyelamatkan nyawa. Sedang materi? Meraka hanya bisa
pasrah, semuanya sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Entahlah, banjir ini akan
menelan waktu sampai kapan? Yang jelas air kanal setiap jam selalu naik, tak
ada tanda-tanda menyusut sedikitpun.
Shira
sampai di tempat kejadian, dia dan teman-temannya disambut ramah oleh para
korban dan kepala desa yang menangani tempat penampungan para korban yang
selamat. Kepala desa yang bernama Surya memberi tahu data para korban yang selamat, korban yang meninggal,
korban yang terluka dan korban yang masih dalam pencarian arau belum ditemukan.
Shira membaca data-data korban, dia menemukan nama “Herman” Eyangnya.
Shira
menemui Eyangnya di tempat penampungan para korban yang selamat, bersyukur dia
karena Eyang Hermannya hanya terluka pada bagian dan kepala lukanya pun tidak
begitu parah.
“Eyang
Wiwik mana Eyang?” tanya Shira setelah dia memeluk Eyangnya lama, kelegaan
mulai ia rasakan. Bahagia meliputi dirinya hingga berlinang air mata.
“Eyangmu
belum ditemukan” jawab Eyang Herman singkat. Shira merasakan kembali kesedihan
setelah ia baru saja merasakan kelegaan. Neneknya Eyang Wiwik belum ditemukan.
Bagaimana bisa?
“Bagaimana
bisa Eyang Wiwik belum ditemukan Yang?” Shira bertanya dengan nada tinggi
seoalah marah tetapi sedih.
“Pada waktu
kejadian Eyang Herman sedang di Balai Desa mengurusi acara lomba hari jadi desa
kita, saat itu memang sedang hujan lebat tapi Eyang Herman tetap harus
berangkat. Sebenarnya Eyang Wiwik melarang tapi Eyang Herman memaksa. Pada saat
di tengah jalan Eyang Herman melihat air bah itu dan orang berteriak
banjiirrr...banjirrrr.. Eyang Herman sadar kalau itu adalah Banjir Bandang,
Eyang langsung berlari kemabali ke rumah tapi belum sempat kakek menyentuh
pagar rumah air itu sudah menghantam tubuh kakek terlebih dahulu dan
selanjutnya menghantam rumah. Eyang sempat mendengar teriakan Eyang Wiwikmu tapi
Eyang tidak bisa berbuat apa-apa, tubuh Eyang terbawa arus sampai Eyang
menemukazn tiang listrik yang terjatuh, Eyang berpegangan pada tiang listrik
itu sampai air mulai surut. Ketika air sudah mulai rendah kakek mencari Eyang
Wiwikmu tapi tak ditemukan. Sampai sekarangngpun Eyang masih terus
mencari” Eyang Herman menceritakan
kejadian ketika air bah itu datang. Sementara Shira dia menangis menutupi wajah
dengan kedua tangannya. Membayangkan nenek yang begitu ia kasihi belum juga
ditemukan.
***
Sudah tiga hari semenjak
Shira dan teman-temannya berpartisipasi membantu para korban bencana banjir
bandang tapi kabar mengenai Eyang Wiwik belum ada perkembangan. Kegelisahan
semakin hari semakin ia rasakan. Namun walaupun demekian Shira dan
teman-temannya total mengabdi di penampungan di Balai Desa dengan ilmu
kesehatan yang dia dapat di kampusnya.
Ditengah tugas yang cukup berat dan
ketidaktenangan mengenai neneknya Shira terancam putus hubungan kisah asmaranya
dengan Ryan, pacar yang sudah menemaninya selama empat tahun. Ryan pacar Shira
yang sebentar lagi akan menerima gelar sarjana memintanya untuk datang dalam
acara wisudanya. Shira merasa tertekan, dia merasa kegalauan sedang menyelimuti
dirinya. Di satu sisi dia tidak bisa meninggalkan lokasi bencana karena
posisinya sebagai koordinator lapangan, juga kabar yang masih belum ada
perkembangan mengenai Eyang Wiwiknya. Di sisi lain, Ryan mengancam putus jika
Shira tidak menghadiri acara wisuda yang menurutnya adalah moment terpenting
dalam sejarah hidupnya.
“Aku ingin km jd salah satu bagian dlm moment sejarah hidupku yg
paling berharga. Aku gak mau tau, aku hanya ingin km hadir. Kalau tidak berarti
km sdh membuat keputusan u/ mengakhiri hub qta.” SMS yang Shira terima satu jam yang lalu dari Ryan.
Pada waktu yang bersamaan,
di saat Shira tengah mengalami dilema yang luar biasa Surya sang Kepala desa
tampak memberikan perhatian yang lebih. Apalagi semenjak kedatangan Shira dan
teman-temannya untuk membantu para korban bencana, Shira dan Surya terlihat
sangat dekat. Kedekatan ini karena mereka sama-sama mencari tahu keberadaan
Eyang Wiwik.
Surya adalah Kepala Desa
yang masih muda dan lajang, seorang sarjana dan sangat cerdas itu tampaknya
memberikan perhatian khusus terhadap Shira. Shira dan Surya terlihat semakin
akrab dan cocok. Jauh di lubuk hati Shira yang terdalam dia tidak mampu menahan
perasaannya terhadap Ryan, namun Shira juga tidak memungkiri bahwa dirinya
tertarik pada sosok Surya yang berkepribadian arif dan bijaksana.
Hari demi hari terus
terlewati, waktu tidak akan pernah berhenti sampai menemui ujungnya. Kini sudah
hari kedua belas, kabar Eyang Wiwik belum juga menunjukkan titik temu tap
keadaan itu juga memakasa Shira mengingat hal lain yaitu Ryan. Wisuda Ryan akan
dilaksanakan seminggu minggu lagi, shira bimbang harus pergi atau ti dak. Kalau
dia pergi berarti dia meninggalkan tanggung jawabnya sebagia koordinator
lapangan, walaupun sebenarnya kondisi lokasi bencana sudah mulai menujukkan
kemajuan dan perubahan yang semakin baik, bisa saja Shira meninggalkannya dan
menyuruh temannya unutk mengambil alih sementara menggantikan posisinya sebagai
koordinator lapangan, tapi bukan itu yang menjadi pokok permasalahan, problema
yang luar biasa adalah keberadaan sang nenek yang belum diketahui. Kalau dia
tidak pergi maka hubungan asmara dirinya dan Ryan akan berakhir sampai disini.
Sebenarnya Shira tak ingin hubungannya berakhir, dia sangat mencintai Ryan, dia
sudah menjelaskan situasi dan masalah yang saat ini sedang melandanya tapi Ryan
tidak memberinya kesempatan memilih.
Ryan adalah sosok yang baik
dan pengertian, apalagi kedua belah pihak keluarga Shira dan Ryan sudah
menyetujui hubungan mereka, Ryan hanya menginginkan Shira hadir sebagai
pendamping saat Ryan menerima gelarnya sebagai sarjana. Entah kenapa tiba-tiba
Ryan bersikeras dengan sikapnya yang membuat Shira harus mengorbankan dua hal
yang sama-sama sangat berarti dalam hidupnya.
Malam itu Shira berkeliling
desa yang pemandangannya sudah berubah menjadi hamparan tanah dengan
bangunan-bangunan yang rusak, dia berniat untuk melepaskan penat setelah
seharian tadi membantu para korban bencana. Shira berharap dia segera menemukan
jawaban atas kegelisahan yang saat ini sedang menimpanya. Shira terus berjalan
menyusuri jalan yang sudah teramat rusak tanpa ia tau kemana arah tujuan dan
akhir perjalanan itu, dia hanya berjalan sampai dia merasa lelah untuk
meneruskan langkahnya. Tanpa Shira sadari bahwa dia sudah berjalan jauh
menjauhi tempat penampungan.
Wanita baya itu memakai
seledang hitam yang kucel, badannya pun sangat kotor duduk bersembunyi diantara
bongkahan-bongkahan kayu yang roboh. Bibirnya mengucapkan sesuatu tapi dengan
suara lirih bahkan nyaris tidak terdengar, tangannya memegang kedua telinganya
sambil terus menerus meneggelengkan kepala solah merasa sangat takut.
Shira sampai pada suatu
tempat yang sangat sepi, tempat itu seolah telah lama tak terjamah tangan
manusia. Tak ada manusia satu pun yang ia temui di sana, yang ada hanyalah
puluhan rumah roboh hampir rata dengan tanah. Shira mendengar suara rintihan,
entah apa yang membuatnya penasaran dia mencari asal suara yang dia dengar
sampai dia menemukan wanita itu duduk diantara bongkahan-bongkahan kayu. Shira
terperanjat saat mengetahui wajah wanita tua yang tersembunyi di balik
selendangya adalah “Eyang Wiwik”.
Bahagia serta ucap syukur
yang tiada habisnya Shira ucapkan berulang-ulang, dia seakan menemukan titik
pencerahan setelah beberapa waktu yang lalu dia terpuruk pada dua masalah
besar. Persoalah hati dan neneknya. Kini dia menemukan jawaban tas persoalan
hati yang selama ini telah membuatnya dilema. Ya. Shira akan menghadiri acara
wisuda kekasihnya. Ryan.
#Cerpen
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#Day5
0 komentar