CERPEN "GERBONG KERETA"



 GERBONG KERETA
Selepas shubuh kusempatkan mengambil mushaf Al qur’an, membacanya walau hanya beberapa ayat. Sampai sinar matahari masuk lewat genting-genting kayu rumahku yang mulai rapuh. Lekas aku mandi dan berpakaian rapi.
“hari ini aku harus dapat lebih”. Tekadku dalam hati. Kukenakan baju terbaik yang pernah kupunya, menyisir rambut sebentar kemudian keluar kamar.
Di dapur atau lebih pantas disebut ruang tengah atau... ah sama sajalah, tak ada bedanya, semua ruang di rumah ini sama, berkumpul menjadi satu dan hanya ada dua kamar. Itupun dulu satunya adalah gudang yang sekarang sudah kuperbaiki mejadi kamarku. Aku tinggal bersama seorang wanita setengan baya yang telah merawatku dari kecil sampai sekarang. Walau dia bukan ibu kandungku sendiri tapi aku berterima kasih karena telah mau menyayangiku.
            “Bu” sapaku.
            “Le, sudah siap?” tanyanya denagan suara parau. Aku mengangguk.
            “Ecep berangkat ya bu” ucapku sembari mencium tangannya.
            “lho! Tidak mau sarapan dulu le? Ibu lagi buat sayur lodeh kesukaan kamu.” Cegah ibu.
            “tidak usah Bu, Ecep takut terlambat, nanti biar Ecep sarapan disana saja.” Jawabku yang langsung disambut senyuman hangat yang terbias dari bibir Ibu. Sebelum pergi ku ambil peralatan kerjaku. Peralatan inilah yang menemaniku sejak delapan bulan yang lalu, tanpa peralatan ini aku takkan bisa mendapatkan penghasilan. Aku hidup karena peralatan inilah yang membuatku bertahan hidup.
            Sekarang akulah yang menjadi tulang punggung keluarga, tidak mungkin aku tega melihat ibu yang sudah mulai memasuki usia tua tetap bekarja demi kelangsungan hidup kita.
            Dari kejauhan kulihat lampu tersorot dari kepala kereta. Tanda kereta akan berangkat. Aku harus cepat kalau tidak ingin kehilangan pekerjaanku hari ini. Kupacu langkahku untuk lebih cepat lagi. Aku berlari dengan segenap kekuatan yang aku punya. Dan yes! Berhasil. sepuluh detik sebelum kereta berangkat aku sudah berdiri dibibir pintu kereta. Tapi seorang laki-laki bertubuh kekar menghadang jalanku. Aku tau maksudnya, dengan bangga kutunjukkan peralatan kerja yang kubawa. Petugas itu hanya memandangiku tanpa berkata-kata lalu mendorong tubuhku masuk kedalam kereta kemudian pergi.
            “huh! Kasar sekali” gerutuku.
            Kereta berangkat. Hari ini kepala kereta membawa lima ekor gerbong kereta. Wah.. pekerjaanku akan berat sekali hari ini. Tapi aku tak boleh kalah sebelum berperang. Aku harus selesaikan pekerjaan ini sebelum tiba di lima stasiun berikutnya. Ku siapkan peralatan yang kubawa dan mulai mengerjakan pekerjaanku.
            Gerbong pertama, sampahnya lumayan banyak apalagi di pojok bawah bangku. Penumpang memang tak pernah mau menjaga kebersihan, mereka suka membuang sampah sembarang. Tapi sampah inilah yang membuahkan hasil bagiku. Gerbong  pertama kulewati dengan hasil yang bisa dibilang lumayan dari pada hasil yang kuperoleh hari kemarin. Kumasukkan hasil yang kuperoleh kedalam kantong celanaku kemudian melanjutkan pekerjaanku.
            Gerbong kedua, sebelum melanjutkan pekerjaanku, kuperhatikan dulu saentero ruang itu. Aku merasa pekerjaan kali ini akan membawa banyak rintangan. Tapi tak apalah, kata pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Kusapu lantai dari bagian paling dalam dibawah kursi penumpang yang duduk dikursi pertama. Banyak penumpang yang berdiri jadi aku mersa kerepotan untuk menyapu. Bahkan tak jarang tanganku terkena injak kaki mereka tapi aku tak marah. Inilah resiko jadi tukang sapu kereta. Ku sodorkan bungkus permen kosong pada seorang bapak yang tadi menginjak tanganku, tapi orang itu malah acuh tak acuh. Hampir saja aku balas menginjak kakinya kalau saja penumpang disebelahnya tidak cepat memasukkan uang recehan kedalam bungkusan permen yang ku pegang geram gara-gara orang tadi.
            Kereta berhenti distasiun pertama. Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan pekerjaanku. Memberi kesempatan orang-orang yang akan turun dan naik kereta. Tujuh menit berlalu kereta mulai berangkat lagi. Tapi aku tak langsung melanjutkan menyapu karena penumpang yang baru naik masih mencari tempat duduk. Setelah semua penumpang  duduk aku melanjutkan pekerjaanku.
            Gerbong ketiga kulewati seperti biasanya. Tak banyak penumpang yang memberi, hasilnya tetap seperti kemarin. Huft! Tapi tak boleh menyerah, masih ada dua gerbong lagi yang harus dibereskan. Semangat!
            Gerbong keempat, sepertinya rintangan lagi-lagi menghadang jalannya pekerjaanku, seorang petugas bagian mengecek tiket penumpang berdiri dihadapanku.     
Kereta berhenti di stasin kedua, tepat ketika seorang petugas kereta yang bertugas mengecek tiket penumpang berdiri dihadapanku. menyodorkan tangannya. Aku tau apa maksudnya tapi aku hanya menggelengkan kepala sambil menunjukkan alat kerjaku padanya.
“meskipun tukang sapu kereta tapi harus tetap membayar tiket kereta, jangan malah memanfaatkan situasi, minta gratis terus. Hah! Anak sekarang sudah banyak motif penipuannya, menyamar sebagai tukang sapu kereta tidak tahunya punya maksud jelek. Belum  ketahuan belangnya sekarang, tapi awas saja kalau ketahuan, tidak akan kubiarkan lolos” ucapnya sinis padaku sambil belalu pergi. Kesal sekali aku dengan omongannya yang mencemoohku.
            Aku tahu semua orang menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakkan, terlihat jelas dari cara meraka memandang aku, dan aku bisa menebak apa yang ada dalam pikiran mereka. Meraka pasti menilai aku seoarang anak laki-laki yang sudah mulai beranjak remaja, kerjanya hanya menipu orang-orang sekitar dengan penampilan compang-camping seperti gembel, dan minta untuk dibelas kasihani yang dengan begitu orang-orang akan merasa kasihan dan memberinya sedikit uang, dan ketika korban berada dalam keadaan tersebut aku akan memanfaatkan keadaan, membuat korbanku lengah kemudian mengambil semua barangnya. Tapi aku tidak seperti yang mereka fikirkan. Meskipun aku hanya seorang bocah yang mulai beranjak remaja, aku tahu bagaimana caranya untuk memperoleh uang yaitu berusaha dan bekerja keras. Aku tak peduli apa pendapat orang tentang diriku, yang jelas aku selalu berusaha jujur, sabar dan ikhlas dalam setiap melakukan sesuatu hal.
Diujung gerbong kelima, tepatnya didepan pintu toilet kereta aku menemukan sebuah handphone. Milik siapa? Pikirku. Bodoh sekali orang ini. Barang jatuh kok tidak terasa. Aku memang seorang penyapu kereta tapi soal barang elektronik aku sedikit tahu karena dulu saat masih sekolah teman-temanku suka membawa handphone ke sekolah sekalipun pihak sekolah sudah melarang dan aku bisa dipastikan barang ini pasti harganya mahal dan yang punya pasti orang kaya. Jelas saja, walpaper handphone tersebut ada foto seorang anak laki-laki tampan yang umurnya kira-kira sebaya denganku bersama seorang Bapak yang berkumis tipis, berhidung bangir, berkulit putih dan berambut pirang mirip anak tadi. Mungkin itu ayahnya. Tebakku.
            Kereta tiba distasiun ketiga. Aku berencana menyerahkan barang ini kepada petugas informasi kereta, supaya bisa diinformasikan kaepada penumpang. Tapi belum sempat aku melangkah seseorang mencengkram bajuku dari belakang dengan kasar. Aku menoleh dan mendapati seorang security(kemanan) melotot ke arahku.
            “mau maling ya?” bentaknya. Aku menggelang-gelengkan kepala, cengkramannya begitu kuat hingga membuat kakiku terangkat sedikit dari lantai.
“jangan bohong! Dari awal aku sudah curiga padamu, dengan kamu berpenampilan gembel seperti ini kamu pikir bisa mengelabuhi penumpang disini?hah?” cetusnya sambil diiringi dengan senyuman sinis dan tatapan mengejek. Aku tahu dia pasti sedang berbahagia karena berhasil menangkapku. Aku tetap tak bisa berbicara apa-apa. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahi, kaki dan tanganku. Handphone yang ku pegang hampir saja jatuh sebelum security(keamanan) itu merampasnya dari tanganku.
“ayo ikut, akan kulaporkan kau pada kapten kereta supaya kau diberi pelajaran. Kecil-kecil sudah mau jadi maling, kalau sudah besar mau jadi apa kau nanti?” tudingnya dengan nada khas Medan padaku. Dia menyeretku menuju kepala kereta sambil manjambak rambutku sehingga membuat kepalaku pusing. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkramannya tapi orang itu semakin memperkuat cengkramannya pada rambutku. Aku diseret melewati gerbong-gerbong, digiring ke bagian masinis. Semua mata tertuju padaku , kaget, heran dan barangkali senang karena mungkin mereka menganggap aku adalah maling dan sekarang maling itu sudah tertangkap.
Didepan pintu kepala kereta aku masih berusaha melepaskan diri. Kenapa orang ini tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya? Rasa takut, khawatir, campur menjadi satu. Aku teringat Ibu, bagaimana jika Ibu tahu kalau aku tertangkap mencuri Handphone seseorang? Aku tahu Ibu tidak akan percaya. Tapi bagaimana seandainya aku benar-benar ditangkap dan dijebloskan ke kedalam penjara?. Aku tidak sanggup membiarkan Ibu yang sudah menjadi tua renta tinggal sendirian. “Tuhan tolong aku” jerit hatiku.
 Saat aku sudah mulai merasa bahwa hidupku akan berakhir sampai disini, bahwa pengabdianku pada Ibu harus ku sudahi cukup sampai disini dan bahwa aku masih belum bisa membuktikan pada Ibu kalau aku akan menjadi anak terbaik yang pernah dia punya, tiba-tiba seorang anak laki-laki memanggil petugas keamanan yang menjambak rambutku, petugas keamanan itu menoleh, anak tersebut mendekati aku dan petugas keamanan. Tepat didepanku dia menatapku sambil mengembangkan senyum kecilnya. Lalu  pandangannya beralih pada sesuatu yang dipegang oleh petugas keamanan ditangan sebelah kanannya karena tangan sebelah kirinya menjambak rambutku dengan kuat, aku tahu dia takut aku kabur tapi aku bukan pengecut, selama aku masih berada pada jalur yang benar aku akan berani melawannya, karena aku tahu kebenaran pasti akan memihak kepadaku.
“ada apa Pak?” tanya anak itu polos.
“dia ketahuan mencuri, ini lihat buktinya” petugas kemanan menjawab tegas sambil menunjukkan barang yang ditemukannya, anak tersebut menatapnya heran, tapi setelah itu dia tersenyum seolah-olah tahu kejadiannya.
“itu milikku” katanya,  membuat dahi petugas keamanan itu berkerut tak mengerti.
“apa maksudmu bocah? Jangan main-main” bentaknya. Anak itu mau bicara lagi tapi mengurungkan niatnya karena ada suara yang memanggil namanya dan langsung mendekati bocah tersebut. Dahiku berkerut. Lho? Bapak dan anak ini kan yang ada difoto handphone tadi.
“Edwin, katanya mau ke toilet? Kok sekarang ada disini? Papa cari kemana-mana” kata Bapak tersebut. Anak laki-laki yang dipanggil Edwin tadi tidak menjawab, dia hanya menoleh padaku dan petugas keamanan. Bapak tersebut menyadari keberadaanku yang dicengkram keras oleh petugas keamanan kereta.
“ada apa ini Pak?” tanya bapak tersebut heran.
“anak ini maling Pak, dia ketahuan mencuri handphone milik penumpang, ini buktinya” bapak tersebut melihat barang yang ditunjukkan oleh petugas keamanan.
“Pa itu handphoneku” bocah yang bernama Edwin itu berkata pada papanya.
“maaf Pak, boleh saya lihat handphonenya?” pinta bapak itu kepada petugas keamanan. Petugas tersebut terlihat ragu-ragu tapi akhirnya dia memberikannya. Bapak itu melihat-lihat isi dari handphone tersebut. Setelah selesai, dia menoleh padaku dan petugas keamanan.
“maaf pak, ini handphone milik anak saya” kata bapak itu.
“benarkah?” kata petugas keamanan seolah-olah tak percaya.
“iya pak, ini ada foto saya dan anak saya” bapak itu menunjukkan fotonya bersama anaknya yang terpampang di layar handphone tersebut kepada petugas keamanan. Petugas keamanan mengamati foto tersebut sambil menoleh kepada bapak dan anak itu, kemudian petugas keamanan mengangguk-angguk tanda bahwa dia percaya yang dikatakan bapak itu.
“iya Pak, saya percaya kalau ini handphone anak Bapak, dan ini malingnya Pak tadi saya melihat anak ini sedang mengendap-endap dikamar mandi gerbong lima. Dari awal saya memang sudah curiga kalau anak ini punya maksud tidak baik, jadi kami mohon maaf Pak kalau kekacauan disini mengganggu kenyamanan perjalanan Bapak dan yang lain. Kami akan menghimbau dan akan memberi pengawasan yang lebih ketat supaya kejadian yang sangat memalukan ini tidak akan terulang lagi.” Kata petugas keamanan itu panjang lebar sambil kembali mempererat cengkraman tangannya ke kerah bajuku hingga tubuhku reflek seperti loncat kedepan dengan cepat.
“bukan Pak... bukan saya pelakunya, saya......”
“diam kamu! Sudah jelas-jelas telihat mencuri masih saja ngeles!” belum selesai aku berbicara untuk membela diri petugas kemanan membentakku. Bapak dan anak itu melihat ke arahku, aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat sebagai tanda bahwa yang dikatakan petugas keamanan itu tidak benar. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, sepertinya Bapak itu lebih parcaya apa yang dikatakan oleh petugas keamanan.
Aku masih ingin terus membela diriku, disaat aku akan mulai berbicara lagi, anak yang bernama Edwin menarik-narik celana papanya. Bapak itu jongkok kemudian betanya pada Edwin.
“ada apa sayang?” katanya lembut.
“handphoneku tadi jatuh pa, tapi aku tidak tahu jatunya dimana.” Kata Edwin.
Ini adalah saatnya aku membela diriku lagi, tapi belum sempat aku menelan ludah untuk mulai berbicara, bapak tersebut mendahuluiku dan berkata pada petugas keamanan.
“tunggu Pak, apa tidak sebaiknya kita dengarkan dulu penjelasan anak ini? Takutnya ini hanya kesalahpahaman saja.”
Petugas kemanan terlihat ragu, dia melihatku, aku mengangguk dengan cepat, kemudian petugas itu mulai melepaskan cengkramannya. Aku menarik napas lega setelah sekian lama leherku seperti terjepit. Aku mengambil nafas terlebih dahulu kemudian mulai menjelaskan duduk masalahnya. Berawal dari aku menemukan handphone itu yang tergeletak didepan pintu toilet gerbong lima, aku juga mengatakan bahwa aku berniat melaporkan kepada pihak keamanan, tapi belum sempat aku melapor petugas keamanan sudah menyeretku dan menuduhku sebagai maling. Aku mulai menjelaskan dengan nafas yang seperti tertatih-tatih, seperti orang yang melakukan lari berkilo-kilo meter jauhnya. Sebenarnya aku ingin memaki-maki petugas keamanan yang seenaknya saja menyeretku sperti hewan. Tapi aku mengurungkan niatku karena aku teringat kata-kata ibu kalau dendam kepada orang lain adalah perbuatan yang tidak baik.
Permasalahan sudah selesai,  petugas keamanan meminta maaf kepadaku karena telah menuduhku sebagai maling. Aku memaafkannya walaupun sebenarnya hatiku tidak bisa terima diperlakukan seperti itu. Tapi aku sudah tidak mau urusannya menjadi panjang.
Kereta berhenti di stasiun keempat. Kini aku telah duduk bersama Edwin dan Papanya. Mereka bertanya tentang kehidupanku, keluargaku, rumahku, dan bahkan sekolahku. Aku jawab seadanya, aku katakan pada mereka bahwa aku adalah orang miskin, ibuku hanya bekerja sebagai tukang cuci keliling yang upahnya tidak seberapa hanya cukup untuk membeli beras setengah kilo tanpa lauk, rumahku dibelakang stasiun. Aku putus sekolah dipertengahan kelas dua SMP, karena ibu sudah tidak sanggup membiayai aku sekolah, dan aku tidak ingin memaksakan keinginanku untuk meneruskan sekolah walaupun sebenarnya aku ingin meneruskan sekolah tapi aku berusa mengerti dengan keadaan. Mata papa Edwin seperti menunjukkan rasa simpati terhadapku. Kemudian dia merogoh kantong celananya, mengambil dompet dan mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan. Kemudian dia memberikannya padaku, aku menatap uang itu sejenak lalu aku menggelengkan kepala. Ada semacam perasaan yang bergairah saat menatap uang itu, namun ada perasaan yang mengganggu pula. Bergairah karena untuk mendapatkan uang sebanyak itu tidak cukup waktu dua bulan, dan mengganggu karena aku teringat ibu, ibu tidak akan suka kalau aku menerima pemberiaan orang karena orang tersebut merasa kasihan kepadaku.
“sesuatu yang didapatkan dengan cara gratis akan membuat malas kita untuk berusaha sendiri, kita akan terbiasa menggantungkan hidup kita pada oarang lain. Ibu bilang kita tak boleh hidup atas rasa kasihan orang lain, selama kita masih diberi kemampuan untuk bekerja sendiri, kita harus tetap berusaha.” Ucapku dengan suara parau karena masih ada efek dari cengkraman petugas kemanan tadi yang membuatku sesak nafas dan leherku sakit. Papa Edwin hanya menatapku tanpa berkata-kata, dan aku hanya menatapnya sambil mengembangkan senyum. Aku juga menatap Edwin yang kira-kira masih berumur 9 tahun denagan tatapan lembut.
Kereta berhenti distasiun kelima, saatnya aku turun. Aku berpamitan dengan si kecil Edwin dan papanya. Edwin terus mengembangkan senyumnya yang lucu kepadaku. Sebelum turun papa Edwin memberikan kartu namanya padaku supaya sewaktu-waktu aku bisa menghubunginya, aku menerimanya kemudian aku langsung turun. Edwin melambaikan tangannya padaku diiringi dengan senyum perpisahan.
Akiu duduk dipinggiran stasiun kelima dari tempat aku berangkat tadi. Aku bisa pulang dengan menaiki kereta dari arah yang berlawanan. Biasanya, sambil menunggu kereta yang akan membawaku pulang kerumah, aku tidur di stasiun ini.
“Cep.” Aku mendengar suara yang memanggil namaku, dan aku menoleh mencari sosok yang memanggilku. Ternyata Emmet, teman seperjuangku alias sesama tukang sapu kereta.
“Emmet.” Teriakku.
“Cep, kerumah yuk? Tidur dirumah saja, jangan tidur disini nanti kamu diusir lagi seperti kemarin.” Kata Emmet.
Aku ingat, kemarin aku diusir petugas keamanan kereta gara-gara tidur di stasiun.
“di rumahmu ada siapa saja?” Tanyaku’
“ada si Udin, Mamat dan yang lainnya.” Jawab Emmet. Mereka semua yang disebutkan Emmet adalah teman-temanku yang bekerja sebagai tukang sapu kereta juga.
Aku beranjak dari tempat dudukku kemudian bejalan bersama Emmet menuju tempat tinggalnya dan teman-temanku sambil bercerita dan bercanda ria.
Aku sampai di tempat teman-temanku sesama tukang sapu kereta tinggal. Kami yang usianya rata-rata sama, yang sama-sama sudah menginjak usia remaja harus berjuang melawan kerasnya hidup, menafkahi diri sendiri untuk tetap bertahan hidup. Kami tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya hidup, punya rumah besar, mobil mewah, uang banyak, dan kemewahan-kemewahan lainnya. Tapi kami saling mmpunyai rasa saling memiliki satu sama lain, kami sudah seperti keluarga, meskipun hanya betempat tinggal ditempat kumuh yang hanya beralaskan kardus untuk tidur yang jika musim hujan datang rumah ini tergenang air, kardus-kardus sebagai alas tidur mereka basah bahkan terkadang ada pula yang hanyut terbawa air yng menggenangi rumah. Tapi kami masih merasa bahagia dan bersyukur atas kuasa Tuhan yang masih mengizikan kami menghirup udara bebas.
Aku bertemu dengan Mamat dan Udin yang akan berangkat bekerja. Kami berjabat tangan sambil bercanda. Mamat dan Udin berangkat kerja, akupun langsung merebahkan tubuh diatas kardus. Sudah terbiasa buatku tidur diatas alas tidur yang seperti ini, bahkan tidur tanpa alaspun aku tidak pernah merasa tidak nyaman karena aku sudah terbiasa.
Tidak butuh waktu lama untukku telelap, kerena mataku sudah tampak sayu dari tadi, dan akupun terlelap.
Matahari masih menyengat ketika watku menunjukkan pukul setengah dua siang, Emmet membangunkanku karena dia tahu aku belum sholat dhuhur. Akupun bangun, mengambil wudhu dan langsung sholat dhuhur.
Kereta yang akan membawaku pulang akan tiba pukul dua lebih sepuluh menit. Setelah sholat aku bergegas menyiapakan diri. Terdengar suara hiruk pikuk diluar, ketika ku lihat keluar ternyata itu adalah suara Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang pulang sehabis mencari sampah. Sebagian besar penduduk didaerah sini para orang tuanya bekerja sebagai pemulung, sedangkan anak-anak mereka yang kebayakan telah putus sekolah karena masalah biaya, terpaksa bekerja sebagai tukang sapu kereta, ada pula yang bekerja sebagai pengamen, pedagang asongan dan tidak sedikit yang berprofesi sebagai pengemis.
Mengemis adalah pekerjaan yang aku hindari. Ibu selalu bilang mengemis itu adalah pekerjaan yang membuat orang malas melakukan suatu hal, membuat orang malas bekerja dan berusaha, Ibu juga bilang kalau mengemis itu bukanlah suatu pekerjaan karena mengemis kerjanya hanya meminta-minta tanpa berusaha terlebih dahulu. Makanya Ibu selalu mewanti-wanti aku agar dalam keadaan yang bagaimanapun dan dimanapun, aku tidak boleh hanya meminta-minta tanpa berusaha kepada orang lain, menunggu orang mengasihi sehingga orang-orang  akan merasa iba dan memberiku sesuatu. Hal inilah yang membuatku untuk terus berjuang dan berusaha. Memanfaatkan waktu yang ada, mensyukuri nikmat kesehatan yang Tuhan berikan untuk kita manfaatkan dengan bekerja.
Aku berjalan menyusuri rel-rel kereta bersama Emmet, dia mengantarkan aku sampai stasiun.
“terima kasih ya Met atas tumpangan tidurnya.” Kataku pada Emmet ketika sudah sampai di stasiun.
“iya, sama-sama Cep, besok tidur ditempatku saja, jangan tidur di stasiun lagi nanti kamu diusir lagi sama petugas keamanan disini.” Kata Emmet mengejekku sambil tertawa. Ku balas dengan tertawa pula.
“kau tidak kerja hari ini Met?” tanyaku.
“hari ini aku libur Cep, aku menggantikan Abas jualan koran dan Abas menggantikan aku jadi tukang sapu kereta. Kami hanya bertukar profesi kerja hari ini.” Jawabnya sambil tertawa lagi.
Tidak lama kemudian kereta pun datang. Aku berpamitan pada Emmet dan berjanji besok aku akan mampir ketempatnya lagi, aku juga tidak lupa menitipkan salam kepada Emmet untuk teman-teman yang lain. Kereta berhenti, aku menjabat tangan Emmet.
“hati-hati dan salam untuk ibumu.” Kata Emmet. Aku hanya mengangguk.
Aku masuk kedalam kereta saat kereta mulai bejalan pelan, penumpang sudah duduk dikursi yang mereka dapatkan. Penumpangnya tidak terlalu banyak dan itu tidak akan membawa kesulitan pada pekerjaanku. Aku mulai melakukan pekerjaanku sampai tuntas. Empat gerbong yang kusapu tidak membawa hasil yang banyak, namun itu sudah aku syukuri.
Aku duduk didekat pintu gebong kereta, mengeluarkan bungkusan permen yang berisi uang recehan yang ku peroleh dari hasil pekerjaanku, aku mulai menghitung hasil yang ku dapatkan. Tidak banyak, hanya mendapat 26.700 rupiah, lumayan dari yang ku peroleh hari kemarin.
Tanpa terasa kereta sudah sampai pada stasiun tujuanku, aku bergegas menuju musholla di stasiun karena hari sudah menjelang sore dan aku belum melakukan sholat ashar. Aku mandi dan melakukan sholat ashar terlebih dahulu sebelum pulang kerumah.
Setelah sholat aku langsung pulang. Ibu menyambutku dengan senyuman hangatnya, ku rengkuh tangannya dalam genggamanku dan menciumnya.
Aku duduk termangu di depan rumah sambil menatap matahari di sebelah barat. Aku teringat akan kejadian yang ku alami hari ini. Teringat Edwin  dan Papanya, teman-temanku dan meratapi nasib yang ku jalani saat ini. Bukan menyesali apa yang kujalani sekarang, tetapi bersyukur dengan kehidupan yang aku peroleh.
Ku ambil secarik kertas dari buku sekolahku dulu, dan ku tulis sebuah bait kata-kata tentang pikiran yang ada dalam benakku.
Sore ini.....
Mentari masih setia menemani bumi
Senja ini terasa begitu hangat
Rona mega merah tampak begitu cantik
Semakin menambah eloknya langit luas
Tapi tidak dengan hatiku
Tidak seirama dengan keajaiban di arah kiblat
Nurani ini terasa pilu, mengingat hidup yang penuh dengan kebohongan belaka
Aku sadar.....
Kemewahan tidak akan mampu membeli segalanya
Ya....
Dan harapku tentang nikmatnya hidup dengan berlumuran harta
Pudar bersama tenggelamnya mentari sore di ufuk barat

0 komentar